Abstract
Selain perdebatan tentang perlu atau tidaknya pidana mati, perdebatan juga terjadi berkenaan dengan cara pelaksanaan pidana mati itu sendiri. Perdebatan tentang alasan manusiawi atau tidaknya cara pelaksanaan pidana mati tersebut. Pasal 11 KUHP menyatakan bahwa pidana mati dijalankan oleh algojo ditempat penggantungan, dengan menggunakan sebuah jerat dileher terpidana dan mengikatkan jerat itu pada tiang penggantungan dan menjatuhkan papan tempat orang itu berdiri. Ketentuan Pasal 11 KUHP diubah oleh Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 juncto Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1969 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati yang Dijatuhkan oleh Pengadilan di Lingkungan Pengadilan Umum dan Militer. Dalam Pasal 1 dinyatakan bahwa pelaksanaan pidana mati yang dijatuhkan oleh pengadilan di lingkungan Peradilan Umum atau Peradilan Militer dilakukan dengan ditembak sampai mati. Ketentuan ini, selanjutnya telah disempurnakan dengan diberlakukannya Peraturan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2010 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Pidana Mati.Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-VI/2008, menyatakan bahwa cara pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 02/Pnps/1964 tidak bertentangan dengan UUD 1945, yang dengan demikian dapat diartikan bahwa pelaksanaan pidana mati dengan ditembak sampai mati tidak melanggar HAM khususnya hak untuk tidak disiksa sebagaimana diatur dalam Pasal 28I ayat (1) UUD 1945. Pelaksanaan pidana mati dengan cara ditembak, memang menimbulkan rasa sakit, namun rasa sakit yang dialami oleh terpidana tidak dapat dikatakan sebagai suatu bentuk penyiksaan terhadap terpidana. Rasa sakit dalam pelaksanaan pidana mati akan tetap dirasakan oleh terpidana.Kata kunci: pelaksanaan pidana mati, hak asasi manusia.