Results in Journal Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu al-Qur'an dan al-Hadits: 65
(searched for: journal_id:(4116228))
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 105-126; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.9908
Abstract:
This paper will try to see how the contribution of Imam Malik with his book al-Muwattha' to the development of hadith, and how the orientalist criticism of the book. In other words, how do orientalists criticize al-Muwattha' as the first generation of books in the writing of hadith. The research conducted in this study is a literature study using the book of al-Muwattha' Imam Malik as the primary source. The result of this research is Goldziher said that al-Muwattha' is more appropriately called a law book than a hadith book. Schact said: there is not a single authentic hadith contained in the book al-Muwattha', so that criticism has implications for doubting the authentic hadith as the word of the Prophet, and the Prophet there is not a single authentic hadith from the Prophet. AbstrakTulisan ini akan mencoba melihat bagaimana kontribusi Imam Malik dengan kitabnya al-Muwattha’ terhadap perkembangan hadis, dan bagaimana kritik orientalis terhadap kitab itu. Dengan kata lain, bagaimana orientalis mengkritik al-Muwattha’ sebagai kitab generasi pertama dalam penulisan hadis.Penelitian yang dilakukan dalam studi ini adalah studi literatur dengan menggunakan kitab al-Muwattha’ Imam Malik sebagai sumber primer. Hasil dari penelitian ini ialah Goldziher mengatakan bahwa al-Muwattha’ lebih tepat disebut kitab hukum daripada disebut kitab hadis. Schact mengatakan: tidak ada satupun hadis yang shahih yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’, sehingga dari kritik itu berimplikasi pada keraguan terhadap hadis yang otentik sebagai sabda Nabi, dan Nabi tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi.Kata Kunci: Critics; Hadith Literature; Orientalists; Kitab al-Muwattha’.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 111-138; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.8378
Abstract:
This paper discuss the tradition of reading Surah al-Waqi’ah which is familiarly practiced at the Darul-Falah Islamic Boarding School in Tulungagung. In this pesantren, all students are required to follow this routine tradition so that they are accustomed to practicing it in their daily life. By using the Living Qur'an study and Karl Mannheim's approach in the analysis form of a problem by reviewing it from the point of view of objective, expressive, and documentary meanings, this paper draws the following conclusions; first, the tradition of Surah al-Waqi’ah is read regularly every day to motivate the reader to get so much fadhilah. Second, the objective meaning of the reading of Surah al-Waqi’ah, is that this tradition has been lived and rooted for a long time to make students as pious and 'alim students. Meanwhile, the expressive meaning of reading surah al-Waqi’ah, can provide relief in times of difficulty, ease in solving problems, and easy to obtain sustenance. As for the documentary meaning, it can make students become disciplined people in religion, especially those related to God (hablun minallah) and also with fellow humans (hablun minannas). AbstrakTulisan ini mengkaji tradisi pembacaan surat al-Waqi’ah yang familiar dipraktikkan di Pondok Pesantren Darul-Falah Tulungagung. Di pesantren ini, seluruh santri diwajibkan untuk mengikuti tradisi rutin tersebut agar terbiasa mengamalkannya dalam kehidupan keseharian. Dengan menggunakan studi Living Qur’an dan pendekatan Karl Mannheim, yakni menganalisis sebuah problem dengan meninjau dari sisi makna objektif, ekspresif dan dokumenter. Tulisan ini menghasilkan kesimpulan sebagai berikut; pertama, tradisi surat al-Waqi’ah dibaca secara rutin setiap hari untuk memotivasi pembaca agar mendapatkan fadhilah yang sangat banyak di dalamnya. Kedua, makna objektif dari pembacaan surat al-Waqi’ah ini, bahwa tradisi tersebut sudah dijalani dan mengakar sejak lama dengan tujuan menjadikan santri sebagai anak didik yang saleh dan ‘alim. Sementara makna ekspresif dari membaca surat al-Waqi’ah ini, dapat memberikan keringanan saat kesulitan, kemudahan dalam menyeleseikan masalah, dan gampang dalam memperoleh rezeki. Adapun makna dokumenternya, dapat membuat santri menjadi orang yang disiplin dalam beragama, khususnya yang berkaitan dengan Allah (hablun minallah) maupun juga dengan sesama manusia (hablun minannas).Kata Kunci: Al-Waqi’ah; Living Qur’an; PonPes Falah.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 91-110; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.7970
Abstract:
The study of hadith among Western scholars has developed quite significantly, especially after the appearance of Ignaz Goldziher with his work entitled Muhammedanische Studien. This development ultimately mapped the study of hadith in the West to become one-way. Western scholars have different thoughts from one another. Herbert Berg divides into three groups of Western scholars who study hadith based on their attitudes and thoughts, namely scepticism, sanguine, and middle ground. However, some experts in hadith studies only divide it into two groups, namely skeptics and non-skeptics. So, thus, there are differences of opinion regarding the position of some orientalists. For example, Juynboll was positioned by Herbert Berg in the middle ground group while other experts positioned him in the skeptical orientalist group. In order to explore this problem, the writer examines Juynboll's thoughts on the Prophet's hadith, especially in relation to the theory that is always embedded with his name, namely the common link theory. The author finds that Juynboll is not as skeptical as to his predecessors, who generalized the Prophet's hadith as questionable its authenticity. Juynboll still idealizes the existence of a hadith that can truly be accounted for its authenticity coming from the Prophet even though it is very small. That was why he was included by Herbert Berg in the middle ground group. AbstrakKajian hadis di kalangan para sarjana Barat mengalami perkembangan yang cukup signifikan terutama setelah munculnya Ignaz Goldziher dengan karyanya berjudul Muhammedanische Studien. Perkembangan tersebut pada akhirnya memetakan kajian hadis di Barat menjadi tidak satu arah. Para sarjana Barat memiliki pemikiran yang berbeda antara satu dengan lainnya. Herbert Berg membagi kepada tiga kelompok sarjana Barat yang mengkaji hadis berdasarkan sikap dan pemikirannya yaitu scepticism, sanguine, dan middle ground. Akan tetapi, sementara pakar kajian hadis hanya membagi kepada dua kelompok yaitu skeptis dan non-skeptis. Sehingga, dengan demikian, terdapat perbedaan pendapat mengenai posisi sebagian orientalis. Misalnya, Juynboll diposisikan oleh Herbert Berg dalam kelompok middle ground sementara pakar lain memosisikannya pada kelompok orientalis skeptis. Untuk mendalami permasalahan tersebut penulis menelaah kembali pemikiran Juynboll terhadap hadis Nabi terutama terkait dengan teori yang selalu disematkan dengan namanya yaitu teori common link. Penulis menemukan bahwa Juynboll tidak se-skeptis pendahulunya yang menggeneralisasi hadis Nabi sebagai sesuatu yang diragukan autentisitasnya. Juynboll masih mengidealkan adanya hadis yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan keotentikannya berasal dari Nabi meskipun itu sedikit sekali. Itulah mengapa dia dimasukkan oleh Herbert Berg ke dalam kelompok middle ground.Kata Kunci:Common link, hadis, Juynboll.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 127-148; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.10311
Abstract:
This paper describes the fundamental response to the existence of the mutasyabihat verse listed in the letter Al-Imran: 7. The research method in this paper is based on library research. The results of this study reveal that the mutasyabih verse in the Qur'an contains the possibility of two or more meanings. This information invites two counterproductive argumentative responses which later become the character of thinking and moving. The first is a character called zaigun (leaning to misguidance) who seeks to seek takwil and/or intentionally causes slander. And the second is Rasikhun (who studies knowledge). AbstrakTulisan ini memaparkan tentang respon fundamental atas keberadaan ayat mutasyabihat yang tercantum dalam surat Al-Imran: 7. Metode penelitian dalam tulisan ini berbasis pada kajian pustaka (library research). Hasil dari penelitian ini mengungkapkan ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an, mengandung kemungkinan dua makna atau lebih. Informasi ini mengundang dua respon argumentatif kontraproduktif yang kemudian menjadi karakter berfikir dan bergerak. Pertama karakter yang disebut zaigun (condong kepada kesesatan) yang berupaya mencari-cari takwil dan atau sengaja menimbulkan fitnah. Dan kedua adalah rasikhun (yang mendalami ilmu).Kata Kunci: Fundamentalisme; Mutasyabih; Rasikhun; Respon Argumentatif; Zaighun.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 139-160; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.8408
Abstract:
This jurnal to discuss to avoid free sex by islamic teaching. Free sex said shabby because bad impact cause very big not only for doer but also wide community. Free sex settlement is never ending, because human being is given natural tendency by God lust the women or man. Therefore, to omit free sex is impossible, throughout still submissive to the lust. Therefor, the realistic is minimize free sex. To minimize of free sex is needed some approaches and one of them is opproach by relegius. This jurnal is using thematic methode and hermeneutic approach. So that the result is that to prevent adultery by maintaining a view, not being alone with a woman who is not his mahrom, fasting, and getting merried. AbstrakTulisan ini membahas upaya ajaran Islam untuk mengatasi atau mencegah perilaku perzinaan. Zina dikatakan sebagai perbuatan buruk karena dampak negative yang ditimbulkannya sangat besar tidak hanya bagi pelaku tetapi terhadap tatanan masyarakat. Perbuatan zina tidak akan pernah tuntas penanganannya, sebab manusia secara fitrah sudah diberikan Tuhan syahwat kepada lawan jenis. Oleh sebab itu, menghilangkan perzinaan merupakan hal yang mustahil, selama manusia masih tunduk terhadap hawa nafsunya. Oleh sebab itu, hal yang paling realistis adalah meminimalisir perzinaan dengan berbagai pendekatan salah satunya dengan pendekatan agama. Metode yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah metode tematik, sedangkan pendekatan dengan menggunakan hermeneutik. Sehingga menghasilkan bahwa untuk mencegah dari perbuatan zina dengan menjaga pandangan, tidak berduaan terhadap wanita yang bukan mahromnya, berpuasa, serta menikah.Kata Kunci: Hadis; Pencegahan; Zina.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 83-104; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.10324
Abstract:
The study of the scriptures through interpretations is a way to provide solutions to stem conflicts in socio-political relations in a pluralistic society. By using a qualitative method with a library research approach, this research will examine the meaning of waliy or awliya' from classical and modern commentators. The commentator's view explains that the mention of waliy or awliya' is a term that indicates close friendship, help from enemies used in asylum asking for protection. Wali is closer to its use outside of political leadership, while its use in political space and regional power uses the term waalin. AbstrakKajian terhadap kitab suci melalui penafsiran-penafsiran adalah suatu jalan untuk memberikan solusi membendung pertikaian dalam hubungan social politik ditengah masyarakat yang majemuk. Dengan menggunakan metode kualitatif dengan pendekatan kepustakaan (library research) penelitian ini akan mengkaji makna waliy atau awliya’ dari mufassir klasik dan modern. Pandangan mufassir menjelaskan bahwa penyebutan waliy atau awliya’ merupakan istilah yang menunjukkan persahabatan dekat, pertolongan dari musuh yang digunakan dalam persuakaan minta perlindungan. Wali lebih dekat penggunaannya diluar kepemimpinan politik, sedangkan penggunaan pada ruang politik dan kekuasaan wilayah memakai istilah waalin.Kata Kunci:Pemimpin;Penafsiran;Waliy-Awliya’.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 195-208; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.7009
Abstract:
This research focuses on the study of "The Concept of Household Harmony in the al-Quran (Ma'na-Cum-Maghza Interpretation of Term Libas in QS. al-Baqarah: 187)". This research is motivated by many people who do not heed the harmony in their household and many people who interpret the word libas in QS. al-Baqarah: 187 means clothes only. In fact, the meanings contained in the word libas are very diverse which can be a guide in household harmony. Therefore, by using the Ma'na-Cum-Maghza approach, this study aims to explain the meanings contained in the word libas. This study concludes that the significance of this verse is that family harmony can be built through Gotong Royong, Loyalty, and Romance. AbstrakPenelitian ini fokus terhadap kajian “Konsep Keharmonisan Rumah Tangga dalam al-Qur’an (Interpretasi Ma’na-Cum-Maghza atas Term Libas QS. al-Baqarah: 187)”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya masyarakat yang tidak mengindahkan keharmonisan dalam rumah tangganya dan banyak masyarakat yang memaknai kata libas dalam QS. Al-Baqarah: 187 bermakna pakaian saja. Padahal, makna yang ada dalam kata libas sangat beragam yang dapat menjadi pedoman dalam keharmonisan rumah tangga. Oleh karena itu, dengan menggunakan pendekatan Ma’na-Cum-Maghza penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan makna-makna yang ada dalam kata libas. Penelitian ini menyimpulkan bahwa signifikansi dalam ayat ini mengandung keharmonisan keluarga dapat di bangun melalui Gotong Royong, Kesetiaan, dan Romantisme.Kata Kunci: Keharmonisan; Libas pada al-Baqarah: 187; Ma’na-Cum-Maghza.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 209-226; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.9764
Abstract:
This article discusses about the relationship between husband and wife in the family which focuses on the hadith narrated by Ibn Majah through the Musawir al-Himyari route. This hadith is one of the many religious texts that are used to legitimize the marginalization of women, especially in the family realm. This research borrows the Mublah approach offered by Faqihuddin Abdul Kodir as an analytical tool that emphasizes cooperation and/or interdependence between two parties. From the discussion presented in this paper, the author comes to the conclusion that the hadith regarding the recommendation of a wife to seek and gain the pleasure of her husband, cannot be understood as one party only as emphasized by classical scholars. Partial texts like this when viewed from the point of view of mublah, are very contrary to the teachings of Islamic principles, especially in the family which emphasizes cooperation between husband and wife for the sake of creating a sakinah family, mawaddah warahmah. Therefore, it is not only the wife who is encouraged to seek and get the pleasure of her husband, but also vice versa in this case the husband also has the same obligations as those imposed on his wife.AbstrakArtikel ini membahas terkait relasi suami dan istri di dalam keluarga yang fokus terhadap hadits riwayat Ibnu Majah melalui jalur Musawir al- Himyari. Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak teks agama yang digunakan sebagai legitimasi atas pemarginalan perempuan, terlebih lagi dalam ranah keluarga. Riset ini meminjam pendekatan Mubadalah yang ditawarkan oleh Faqihuddin Abdul Kodir sebagai pisau analisis yang menekankan kerjasama dan atau ketersalingan antara dua belah pihak. Dari diskusi yang dihadirkan dalam paper ini, penulis sampai kepada kesimpulan bahwa hadits tentang anjuran istri mencari dan mendapatkan ridho suami, tidaklah bisa difahami sebagai salah satu pihak saja seperti yang ditegaskan oleh ulama klasik. Teks- teks parsial seperti ini jika dilihat dari sudut pandang mubadalah, sangatlah bertentangan dengan ajaran prinsip Islam terutama dalam keluarga yang menekankan kerjasama antara suami dan istri demi terciptanya keluarga sakinah, mawaddah warahmah. oleh karenanya tidak hanya istri yang dianjurkan mencari dan mendapatkan ridho suami, tetapi juga sebaliknya suami dalam hal ini juga memiliki kewajiban yang sama sebagaiamana yang dibebankan kepada istri.Kata Kunci: Hadits; Mubadalah; Relasi Suami Istri.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 15-40; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.11365
Abstract:
This paper will discuss the hadiths of the command to kill lizards, especially those found in al-kutub al-sittah. Outwardly, these hadiths contradict the mission of the Prophet as a blessing lil 'alamin, who was sent to spread love to all beings. The purpose of this study is to determine the validity of the hadiths about the command to kill lizards and reveal the wisdom behind the command. This research is a qualitative descriptive literature. The data were analyzed using the approach of hadith science and the wisdom of tasyri '. The results of the study concluded that the hadiths about the order to kill lizards that belong to fawaisiq animals range between sahih and hasan, therefore it is permissible to be killed but it is not an obligation only as far as encouragement. The wisdom is to avoid harm, because lizards include reptiles that carry bacteria that are harmful to health. AbstrakTulisan ini akan membahas tentang hadits-hadits perintah membunuh cicak, khususnya yang terdapat dalam al-kutub al-sittah. Secara lahiriahnya hadits-hadits ini bertolak belakang dengan misi Rasulullah sebagai rahmatan lik ‘alamin, yang di utus untuk menebarkan kasih sayang kepada semua makhluk. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui validitas hadits-hadits tentang perintah membunuh cicak dan mengungkap hikmah di balik perintah tersebut. Penelitian ini adalah kepustakaan yang bersifat deskriptif kualitatif. Data dianalisis menggunakan pendekatan ilmu hadits dan hikmah tasyri’. Hasil penelitian menyimpulkan, hadits-hadits tentang perintah membunuh cicak yang tergolong hewan fawaisiq berkisar antara shahih dan hasan, oleh karenanya boleh untuk dibunuh akan tetapi bukan suatu kewajiban hanya sebatas anjuran. Adapun hikmahnya adalah untuk menghindari dari kemudaratan, karena cicak termasuk reptil yang membawa bakteri yang berbahaya bagi kesehatan.Kata Kunci: Fuwaisiq; Hikmah; Tasyri’.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 227-238; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.5635
Abstract:
This paper discusses about the transformation of the development of interpretation which was initiated by a modern commentator from Pakistan named Fazlur Rahman where he tried to restore the position of hadith which was considered to have stagnate and died in the growth of its interpretation. Fazlur Rahman offers a new method in increasing the growth of hadith science to be more developed and able to answer modern contexts with more complex problems. The purpose of this study is to reveal Fazlur Rahman's thoughts on hadith which are considered controversial but in fact have a very good purpose for the position of hadith it self, and to reveal the hadith research methods offered by Fazlur Rahman as a modern method in the science of hadith. This study uses the library research method and the results of the study found that the hadith method offered by Fazlur Rahman is a socio-historical method.AbstrakTulisan ini mengkaji tentang transformasi perkembangan tafsir yang digagas oleh seorang mufassir modern asal Pakistan bernama Fazlur Rahman dimana ia mencoba untuk mengembalikan kedudukan hadis yang dianggap mengalami stagnasi dan mati dalam pertumbuhan tafsirnya. Fazlur Rahman menawarkan metode yang baru dalam meningkatkan pertumbuhan ilmu hadis menjadi lebih berkembang dan dapat menjawab konteks modern dengan permasalahan yang lebih kompleks. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengungkap pemikiran Fazlur Rahman mengenai hadis yang dinilai kontroversional namun pada kenyataannya memiliki tujuan yang sangat baik bagi kedudukan hadis itu sendiri, serta mengungkap metode penelitian hadis yang ditawarkan Fazlur Rahman sebagai metode modern dalam ilmu hadis. Penelitian ini mengunakan metode library Research dan hasil penelitian ditemukan bahwa metode hadis yang ditawarkan oleh Fazlur Rahman adalah metode sosio-historis.Kata Kunci: Fazlur Rahman; Metodologi Hadis; Pemikiran Modern.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 1-14; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.10941
Abstract:
Many of the experts in Islamic studies both Eastern (Occidental) and Western (Orientalist) describe concepts related to the Prophet Muhammad. One of them is William Montgomerry Watt, an English orientalist. The purpose of this study is to determine the subjectivity and objectivity of orientalist figures in studying Islamic history. This study uses a qualitative research method with a library research approach. Watt is one of the figures who examines Muhammad's life with thoughts based on a socio-cultural approach. Then Richard Bell, one of the teachers who also influenced Watt's thinking a lot. In his book, Muhammad Prophet and Tasteman, Watt tries to accommodate the previous book about Muhammad. Was Muhammad the Prophet? or as a statesman? Or even as a second?. AbstrakBanyak dari para pakar kajian Islam baik Timur (oksidentalis) ataupun Barat (Orientalis) menjabarkan konsep-konsep yang berkaitan dengan Nabi Muhammad. Salah satunya yaitu William Montgomerry Watt, orientalis yang berkebangsaan Inggris. Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui subjektivitas dan objektifitas tokoh orientalis dalam mengkaji sejarah Islam. Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan kepustakaan (library research). Watt merupakan salah satu tokoh yang mengkaji kehidupan Muhammad dengan pemikiran-pemikiran yang dilandasi dengan pendekatan sosio-kultur. Kemudian Richard Bell, salah seorang guru yang juga banyak banyak mempengaruhi pemikiran Watt. Dalam bukunya yang berjudul Muhammad Prophet and Tasteman, Watt mencoba mengakomodir buku tentang Muhammad yang sebelumnya. Apakah Muhammad sebagai Nabi? atau Sebagai Negarawan? Atau bahkan sebagai kedua?.Kata Kunci: Kajian Islam di Barat; Muhammad Prophet and Tasteman; William Montgomerry Watt.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 259-274; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.10014
Abstract:
This paper aims to trace the history of the development of interpretation in the time of the Companions. This research uses a comparative-descriptive method with a qualitative approach. So it can be concluded that the development of the interpretation of the Companions period cannot be separated from the different conditions of the Companions in understanding the Qur'an. In addition, at that time there was also a division among the friends. The differences in understanding and division of the people have implications for the interpretation carried out. Differences in understanding do not have such a big impact, while the division of the ummah has a very big impact on interpretation. The division of the ummah which resulted in the emergence of distorted interpretations under the pretext of justifying their sect. The sources of interpretation carried out are the Qur'an, Hadith, Ijtihad, and Ahl-Kitab. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk melacak sejarah perkembangan tafsir di masa sahabat. Penelitian ini menggunakan metode komparatif-deskriptif dengan pendekatan kulitatif. Sehingga dapat disimpulkan bahwa perkembangan penafsiran masa sahabat tidak terlepas dari kondisi sahabat yang berbeda dalam memahami al-Qur’an. Ditambah lagi pada saat itu muncul juga sebuah perpecahan di antara para sahabat. Dari perbedaan pemahaman dan perpecahan umat tersebut berimplikasi kepada penafsiran yang dilakukan. Perbedaan pemahaman tidak berdampak begitu besar, sedangkan perpecahan umat dampaknya begitu besar bagi penafsiran. Perpecahan umat yang mengakibatkan munculnya penafsiran yang menyeleweng dengan dalih untuk menjustifikasi alirannya. Sumber-sumber penafsiran yang dilakukan ialah dengan al-Qur’an, Hadits, Ijtihad, dan Ahl-Kitab.Kata Kunci: Perbedaan Pemahaman; Perpecahan Umat; Tafsir Sahabat.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 317-336; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.10719
Abstract:
This article examines the implementation of the "Repentance" tradition for pregnant women when they are seven months old by reading the letter at-Taubah to offer a prayer to pregnant women. Researchers want to examine the origin and implementation, where "Penance" is another term for "mitoni". By studying the history and how it is implemented, the researcher uses a literature review and interviews with figures in Sendang Asri village. From the results of this study, the people of Sendang Asri, especially hamlet 2 Umbulkadu, have been carrying out the "Repentance" tradition for a long time which was brought by one of the clerics from Java who lived in the village and the implementation of "Tobat" was carried out by seven people to read the letter at-Taubah with hope that mothers and babies who are being conceived will get health and safety until the time of delivery. AbstrakArtikel ini mengkaji tentang pelaksanaan tradisi “Tobatan” untuk ibu hamil ketika berusia tujuh bulan dengan membaca surat at-Taubah untuk memanjatkan do’a kepada ibu yang sedang mengandung. Peneliti ingin mengkaji asal usul serta pelaksanaannya, dimana “Tobatan” adalah sebuah istilah lain dari “mitoni”. Dengan mengkaji historis serta cara pelaksanaannya, peneliti menggunakan kajian pustaka serta wawancara dengan tokoh yang ada di kampung Sendang Asri. Dari hasil penelitian ini bahwa masyarakat Sendang Asri khususnya dusun 2 Umbulkadu melakukan tradisi “Tobatan” sudah cukup lama yang dibawa oleh salah satu tokoh Kiyai dari Jawa yang menetap di kampung tersebut dan pelaksanaan “Tobatan” dilakukan oleh tujuh orang untuk membaca surat at-Taubah dengan harapan agar ibu dan bayi yang sedang dikandung mendapatkan kesehatan serta keselamatan hingga waktu melahirkan.Kata Kunci: Mitoni; Surat at-Taubah; Tradisi Tobatan.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 61-82; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.10428
Abstract:
This paper aims to explore the meaning of jihad using the analytical knife of Authoritative Hermeneutics which was initiated by Khaled Abu El Fadh. The view of Jihad that has spread widely in society is the result of a misunderstanding of hard-line Islamic groups. Such a mistake in thinking requires a reduction in thinking to be able to provide understanding to the community about a more inclusive teaching concept. This study uses a qualitative approach with descriptive analysis method. The results in this study reveal that the idea of Jihad according to Authoritative Hermeneutics is not the same as qital, in the Qur'an Jihad does not refer to battle or war. Jihad in Islam can mean an effort to harmonize a safe life in society, by not spreading worries, to bring about the suitability of life regardless of differences by prioritizing humanistic principles, as well as joint efforts to build a more decent life that avoids poverty in the midst of an increasingly developing era. It can be concluded from this paper that jihad is not only related to war but also talks about the moral and spiritual formation of people who uphold human values, tolerance, justice and equality in life by not creating gaps and worries in social life. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengupas makna jihad dengan menggunakan pisau analis Hermeneutika Otoritatif yang digagas oleh Khaled Abu El Fadh . Pandangan tentang Jihad yang telah banyak menyebar dalam masyarakat merupakan hasil dari kesalahan berpikir kelompok Islam garis keras. Kesalahan berpikir yang demikian, diperlukan reduksi pemikiran untuk dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang sebuah konsep ajaran yang lebih inklusif. Penelitian ini menggunakan pendekatan Kualitatif dengan metode Deskriptif analisis.Hasil dalam penelitian ini mengungkapkan bahwasannya gagasan Jihad menurut Hermeneutika Otoritatif tidak sama dengan qital, dalam al-Qur’an Jihad tidak merujuk pada pertempuran atau perang. Jihad dalam Islam bisa bermakna usaha menyelaraskan hidup yang aman dalam masyarakat, dengan tidak menebar kekhawatiran, menghadirkan kesesuaian hidup tanpa memandang perbedaan dengan mengedepankan prinsip humanistik, serta usaha bersama membangun kehidupan yang lebih layak yang terhindar dari kemiskinan di tengah kemajuan zaman yang semakin berkembang. Dapat disimpulkan dari tulisan ini bahwa jihad tidak hanya berkaitan dengan peperangan tapi juga berbicara tentang pembentukan moral dan spiritual umat yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, toleransi, keadilan dan kesetaraan hidup dengan tidak menciptakaan kesenjangan dan kekhawatiran dalam hidup bermasyarakat.Kata Kunci:Hermeneutika Otoritatif Khaled Abu El Fadh; Jihad;Qital.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 149-166; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.11559
Abstract:
This paper examines the practice of praying sunnah taqwiyatul hifdzi at Pondok Pesantren An-Nur 1 Putri Bululawang Malang. Researchers will examine the practice, factors and the influence of religious taqwiyatul hifdzi prayer for students who memorize the Qur'an. The methods of interview, observation, documentation and phenomenological approach as well as the use of the living hadith approach are used in this study. As for the results of this study, that the taqwiyatul hifdzi prayer at Pondok Pesantren An-Nur 1 Putri Malang is carried out in congregation on Thursday night, Friday Kliwon. The Hadith of the Prophet became the normative reason for the practice and the certificate given by the caregiver to the santri became the historical reason behind the practice. The benefits obtained by the perpetrators after carrying out the prayers include: strengthening the memorization of the Qur'an, nadzam, being given convenience and understanding in diniyah subject matter and getting closer to Allah. AbstrakTulisan ini mengkaji tentang praktik salat sunnah taqwiyatul hifdzi di Pondok Pesantren An-Nur 1 Putri Bululawang Malang. Peneliti akan mengkaji tentang praktik, faktor serta pengaruh keberagamaan salat taqwiyatul hifdzi bagi santri penghafal al-Qur’an. Metode wawancara, observasi, dokumentasi dan pendekatan fenomenologi serta pemanfaatan pendekatan living hadits digunakan dalam penelitian ini. Adapun hasil penelitian ini, bahwa salat taqwiyatul hifdzi di Pondok Pesantren An-Nur 1 Putri Malang dilakukan dengan berjamaah pada hari Kamis malam Jum’at kliwon. Hadits Nabi menjadi alasan normatif praktik tersebut serta ijazah yang diberikan pengasuh kepada santri menjadi alasan historis yang melatarbelakangi praktik tersebut. Manfaat yang diperoleh para pelaku setelah melaksanakan salat tersebut antara lain: memperkuat hafalan al-Qur’an, nadzam, diberikan kemudahan dan kefahaman dalam materi pelajaran diniyah serta mendekatkan diri kepada Allah.Kata Kunci: An-Nur 1; Living Hadits; Salat Taqwiyatul Hifdzi.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 275-290; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.9216
Abstract:
Abstrak The interpretation of the Qur’an will never be completed, starting from the first time it came down to eart, it has used the results of the Qur’an until now. The method used in monitoring the Qur’an has also developed. The development of the method has implications for various results. Methods in certain periods may not be relevant to other periods, because the development of the world is so fast and requires the existence of new methods of understanding that are in accordance with the times. This study wants to offer hermeneutics as a method of using the Qur’an. Hermeneutics appears as an alternative method in understanding a text (al-Qur’an), the pattern of understanding it offer reveals Contextual methodological assumptions because it does not only pay attention to the content of the text, but also considers the existence of the context that surrounds the text, both psychological context. And social context. The results of this study reveal that the disclosure of the Qur’an by using the hermeneutic method of storage is more human and contextual. Keywords : Text, Understanding, Context, Hermeneutics.Abstrak Penafsiran terhadap al-Qur’an tidak akan pernah selesai, terhitung sejak pertama kali turunnya ke bumi sudah ribuan hasil penafsiran al-Qur’an hingga saat ini. Metode yang digunakan dalam menafsirkan al-Qur’an juga mengalami perkembangan. Perkembangan metode tersebut berimplikasi pada hasil penafsiran yang beragam. Metode pada periode tertentu bisa jadi tidak relevan dengan periode yang lain, dikarenakan perkembangan dunia yang begitu cepat dan mengharuskan adanya metode-metode pemahaman baru yang sesuai dengan zamannya. Penelitian ini ingin menawarkan hermeneutika sebagai metode penafsiran al-Qur’an. Hermeneutika muncul sebagai salah satu alternatif metode dalam memahami sebuah teks (al-Qur’an), Pola pemahaman yang ditawarkannya mengungkap asumsi-asumsi metodologis yang Kontekstual karena tidak hanya memperhatikan isi teks, tetapi juga mempertimbangkan keberadaan konteks yang melingkupi teks tersebut, baik konteks psikologis maupun konteks sosial. Hasil dari penelitian ini mengungkap bahwa penafsiran al-Qur’an dengan menggunakan metode hermenutik menghasilkan penafsiran yang lebih manusiawi dan kontekstual. Kata Kunci: Teks, Pemahaman, Konteks, Hermeneutika.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 239-258; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.9713
Abstract:
The Qur'an with all the words and sentences in it always gives birth to a double meaning. In accordance with the point of view, the approach used is the interpreter or reader. One of the words reviewed is sulthan, because the word contains variations in meaning depending on the syntax of the sentence before and after and the context that accompanies it. Therefore, this study reveals the meaning of the word sulthan from the verse Q.S. Ar-Rahman (55): 33. The theoretical approach used is the theory of ma'na cum maghza which was pioneered by Sahiron Syamsuddin as a hermeneutic lighter at UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. With the description-analysis analysis method as well as the primary source in the form of the interpretation of the word sultan from various books of interpretation and also the Qur'an itself. Then secondary sources in the form of studies related to the theme of discussion, either in the form of journals, books, and so on. The results of this study are first, this verse is used as a reference source for the science of astronomy to explore the universe, because it expresses the invitation to penetrate the heavens and the earth. Second, the word sulthan in Surah Ar-Rahman verse 33 describes the power and power of Allah over his supervision of humans and jinn. Third, in depth the Qur'an through Surah Ar-Rahman verse 33 is a proof of Allah's power. AbstrakAl-Qur’an dengan segala kata dan kalimat di dalamnya selalu melahirkan makna ganda. Sesuai dengan sudut pandang, pendekatan yang digunakan mufassir atau pembaca. Salah satu kata yang diulas adalah sulthan, karena kata tersebut mengandung variasi makna tergantung kepada sintaksis kalimat sebelum dan sesudah serta konteks yang menyertainya. Oleh karena itu, penelitian ini mengungkapkan makna kata sulthan dari ayat Q.S. Ar-Rahman (55): 33. Adapun teori pendekatan yang digunakan adalah teori ma’na cum maghza yang dipelopori oleh Sahiron Syamsuddin selaku pemantik hermeneutika di UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Dengan metode analisis deskripsi-analisis serta sumber primer berupa penafsiran kata sulthan dari berbagai kitab tafsir dan juga al-Qur’an itu sendiri. Kemudian sumber sekunder berupa kajian-kajian yang terkait dengan tema pembahasan, baik berupa jurnal, buku, dan lain sebagainya. Adapun hasil penelitian ini adalah pertama, ayat ini dijadikan sumber rujukan tentang ilmu astronomi untuk menjelajahi alam semesta, karena di dalamnya mengungkapkan dipersilahkannya menembus langit dan bumi. Kedua, kata sulthan dalam surah Ar-Rahman ayat 33 mendeskripsikan tentang kekuatan dan kekuasaan Allah terhadap pengawasannya kepada manusia dan jin. Ketiga, secara mendalam al-Qur’an melalui surah Ar-Rahman ayat 33 ini sebagai bukti kekuasaan AllahKata Kunci: Interpretasi; Ma’na-Cum-Maghza; QS. ar-Rahman: 33; Sulthan.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 41-60; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.11380
Abstract:
Childfree, who is committed to withholding children, is seen as the basis for a couple to reach their desired goals, but on the other hand, Indonesian socio-cultural aspects, both legally and culturally, require that they have offspring. From this phenomenon, this article describes the concept of childfree which is responded to by the Qur'an with various interpretations. In this case, the main argument for responding to childfree is Q.S. Ali 'Imran: 38-39 which gives an understanding of the commitment to have children. The theory used in this research is the theory of maqāṣid interpretation analysis which was coined by Abdul Mustaqim. This theory reveals the message behind the meaning of the Qur'an, in this case examining maqāṣid on childfree responses which are considered the principle of freedom. This research is a type of library research that uses data sources in the form of journal articles, books, and other documentary data with the same theme. The results of this study are that there are no specific verses discussing childfree and there are values of maqāṣid that appear, namely hifzhh al-din containing the continuity of religious development, hifzhh al-nasl the existence of gaps that occur in the future, and hifzh al- look at the quality of society and the condition of the people's welfare. AbstrakChildfree yang berkomitmen untuk menahan memiliki anak dipandang sebagai landasan pasutri untuk menggapai cita-cita yang diinginkan, tetapi di sisi lain sosio-kultural Indonesia baik secara undang-undang maupun budaya masyarakat mengharuskan memiliki keturunan. Dari fenomena tersebut artikel ini menguraikan konsep childfree yang direspon oleh Alqurandengan berbagai penafsirannya. Dalam hal ini yang menjadi dalil utama untuk merespon childfree adalah Q.S. Ali ‘Imran: 38-39 yang memberikan pemahaman atas komitmen untuk memiliki keturunan. Adapun teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori analisis tafsir maqāṣid yang dicetuskan oleh Abdul Mustaqim. Teori ini mengungkapkan pesan dibalik makna al-Qur’an, dalam hal ini mengkaji maqāṣid atas respon childfree yang dianggap sebagai prinsip kebebasan. Penelitian ini berjenis library research yang menggunakan sumber data berupa artikel jurnal, buku, serta data dokumentar lain yang setema. Hasil penelitian ini adalah ayat yang spesifik membicarakan childfree tidak ditemukan dan adanya nilai-nilai maqāṣid yang muncul yaitu hifzh al-din memuat adanya kontinuitas perkembangan agama, hifzh al-nasl adanya kesenjangan yang terjadi di masa depan, dan hifzh al-daulah melihat kualitas masyarakat dan kondisi kesejahteraan rakyat. Kata Kunci: Interpretasi; Ma’na Cum Maghza; QS. Ar-Rahman:33; Sulthan.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 27-46; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.7768
Abstract:
The Qur'an and the biblical tradition are two text traditions that have intertwined since the time of the production of the al-Qur'an. Understanding the Koran during the pre-canonical period is a must. One method used for this is comparison, an act which will provide insight into how the Qur'an and biblical traditions complement one another. It has to be done right by not only showing similarities but also accentuating differences. In order to contribute to the academic world, the next step is to re-describe to see the causes of differences, depending on which side a researcher is looking for (historical, lexical, ethico-moral, etc.), he will find an outline that binds the two comparands, which will establish a theory. AbstrakAl-Qur’an dan tradisi biblikal adalah dua tradisi teks yang telah saling berkelindan sejak masa produksi al-Qur’an. Pembacaan al-Qur’an saat masa pre-canonical adalah hal yang harus dilakukan. Salah satu metode yang digunakan untuk itu ialah komparasi, tindakan yang bisa memberikan pencerahan tentang bagaimana al-Qur’an dan tradisi biblikal saling mengisi satu sama lain. Ia harus dilakukan dengan benar yatu dengan tidak hanya menampilkan kesamaan namun juga menonjolkan perbedaan. Supaya memberikan sumbangsih terhadap dunia akademis, langkah selanjutnya yaitu melakukan deskripsi ulang untuk melihat penyebab perbedaan terjadi, tergantung dari sisi mana seorang peneliti mencari (sejarah, lexical, ethico-moral, dan lain sebagainya), dia akan menemukan satu garis besar yang mengikat dua comparand tersebut sehingga bisa memunculkan sebuah teori. Kata Kunci: Metode komparasi, al-Qur’an, Biblikal, Dialog antar Agama
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 161-194; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.7745
Abstract:
This study aims to examine the verses of the Koran that are related to equality or equality between men and women or the relationship between men and women in the perspective of authoritative interpretation of scholars. This research uses descriptive qualitative method with the type of literature review. And it can be concluded that the concept of emancipation of women which demands absolute equality between men and women is a concept that does not have an umbrella of justification in the Koran. The relationship between men and women according to the Koran is confirmed in accordance with natural nature and scientific facts referring to their basic character and legal and social implications. Respect for women is built on the principle of justice, while the relationship between men and women is built on the principle of balance and complementarity. And the Islamic concept about women in particular, and about everything in general is nothing but a human instinct conveyed in a legal expression. AbstrakPenelitian ini bertujuan menelaah ayat-ayat al-Qur’an yang memiliki keterkaitan dengan persamaan atau kesetaraan antara pria dan wanita atau hubungan antara pria dan wanita dalam perspektif tafsir ulama yang otoritatif. Penelitian ini menggunakan metode kualitatif deskriptif dengan jenis kajian pustaka. Dan dapat disimpulkan bahwa konsep emansipasi wanita yang menuntut persamaan mutlak antara pria dan wanita adalah konsep yang tidak memiliki payung pembenaran dalam al-Qur’an. Hubungan pria dan wanita menurut al-Qur’an diteguhkan sesuai dengan fitrah alamiah dan fakta ilmiah merujuk kepada tabiat dasar dan implikasi hukum dan sosialnya. Penghormatan kepada wanita dibangun di atas prinsip keadilan, sementara hubungan antara pria dan wanita dibangun di atas prinsip keseimbangan dan saling melengkapi. Dan konsep Islam tentang wanita secara khusus, dan tentang segala hal secara umum tidak lain adalah insting kemanusian yang disampaikan dalam ungkapan hukum.Kata Kunci: Emansipasi;Tabiat;Penghormatan kepada Wanita.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 1-26; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.7011
Abstract:
This research focuses on the study of "QS.Al-Fatihah Reception in Islamic Literature in the Middle Ages". This research is motivated by the many phenomena that occur in society that are still thick with the tradition of reciting surah al-Fatihah, including as a talisman, as a treatment such as ruqyah, as a community ritual practice such as tahlilan, etc. These phenomena have become a common tradition among the people. However, many people do not know about the aims, principles, and history of how these practices originated.Therefore, by using the informative and perfomative theory initiated by Sam D. Gill, this study aims to find data from where the initial emergence of these phenomena was responded to by the community, understood and expressed and developed in the community through Islamic literature in the century. mid.This research concludes that from several existing reception books, broadly speaking it can be classified into two types of books. AbstrakPenelitian ini fokus terhadap kajian tentang “Resepsi QS.Al-Fatihah dalam Literatur keIslaman pada Abad Pertengahan”. Penelitian ini dilatarbelakangi oleh banyaknya fenomena yang terjadi di masyarakat yang masih kental dengan tradisi pembacaan surah al-Fatihah, diantaranya sebagai jimat, sebagai pengobatan seperti ruqyah, sebagai praktek ritual masyarakat seperti tahlilan dan sebagainya. Fenomena-fenomena tersebut sudah menjadi sebuah tradisi yang umum di kalangan masyarakat. Namun, banyak orang yang belum mengetahui tentang tujuan-tujuan, dasar-dasar, dan sejarah awal mulanya praktek-praktek tersebut berasal. Oleh karena itu, dengan menggunakan teori informatif dan perfomatif yang digagas oleh Sam D. Gill maka penelitian ini bertujuan untuk mencari data-data darimana awal munculnya fenomena-fenomena tersebut direspon oleh masyarakat, dipahami dan diungkapkan serta berkembang di masyarakat melalui literatur-literatur keIslaman pada masa abad pertengahan. Penelitian ini menyimpulkan bahwa awal mula munculnya resepsi surah al-Fatihah bersumber dari kitab tafsir, kitab fadhail al-Qur’an, dan kitab ‘amaliyah. Kata Kunci: Penelitian, Surah al-Fatihah, Literatur Abad Pertengahan.
Published: 2 December 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 291-316; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i2.9530
Abstract:
The recitation of surah al-Fatihah 100 times is a characteristic of the tradition of Jemaah Dzikrul Ghafilin. Normatively the recitation of al-Fatihah has various virtues including the master surah of the Qur'an, being a condition of the validity of prayer, used as a healing medicine. According to the provisional argument Dzikrul Ghafilin in general his orientation is purely to draw closer to Allah. In the meaning of the congregation in Baron Nganjuk is more oriented to the hope of the granting of all hajat. He is facilitated in work, education, healing, homemaking, and all things world. This research is considered important to dig deeper into the motives of pilgrims, more precisely how the understanding of pilgrims about Dzikrul Ghafilin in Baron Nganjuk, and how the findings are phenomenological. This research is qualitatively designed, using phenomenological methods and refers to the analysis of alfred schultz's construction of meaning. As for data collection techniques, the author directly observes as well as becomes a participant, conducts interviews and collects documentation. Phenomenologically the findings of this field study are; Theological motives add faith to Allah SWT, motives to preserve the teachings of the single mursyid Dzikrul Ghafilin (Gus Miek) in order to get the blessings of Gus Miek's teachings by facilitated all worship, and the motive of self-introspection in order to become a pious person in life. The interaction of the experience of the congregation is to get the support of the new family of Dzikrul Ghafilin pilgrims, gain insight into knowledge by exchanging opinions on life issues, and mutual tolerance to help the Dzikrul Ghafilin event. AbstrakPembacaansurah al-Fatihah 100 kali ialah ciri khas tradisi Jemaah Dzikrul Ghafilin. Secara normatif pembacaan al-Fatihah memiliki berbagai keutamaan diantaranya ialah surah induk al-Quran,menjadi syarat sahnya salat, dijadikan obat penyembuh. Menurut argumen sementara Dzikrul Ghafilin secara umum orientasinya ialah murni untuk mendekatkan diri kepada Allah. Dalam pemaknaan jemaah di Baron Nganjuk ini lebih berorientasi pada pengharapan terkabulnya segala hajat. Diataranya diperlancar dalam pekerjaan, pendidikan, kesembuhan, berumahtangga, dan segala perkara dunia. Penelitian ini dirasa penting untuk menggali lebih dalam motif jemaah, lebih tepatnya bagaimana pemahaman jemaah mengenai Dzikrul Ghafilin di Baron Nganjuk, beserta bagaimana hasil temuanya secara fenomenologis. Penelitian ini berdesain kualitatif, menggunakan metode fenomenologi dan mengacu analisis konstruksi makna Alfred Schultz. Adapun teknik pengumpulan data, penulis secara langsung melakukan observasi sekaligus menjadi partisipan, melakukan wawancara dan mengumpulkan dokumentasi. Secara fenomenologis hasil temuan dari penelitian lapangan ini ialah; Motif Teologis menambah keimanan kepada Allah SWT, motif melestarikan ajaran mursyid tunggal Dzikrul Ghafilin (Gus Miek) agar mendapatkan berkah ajaran Gus Miek dengan diperlancar segala hajat, dan motif intropeksi diri agar menjadi pribadi umat yang saleh dalamkehidupan. Interaksi pengalaman jemaah ialah mendapat dukungan keluarga baru jemaah Dzikrul Ghafilin, mendapatkan wawasan ilmu dengan saling bertukar pendapat masalah kehidupan, dan saling toleransi membantu acara Dzikrul Ghafilin.Kata Kunci: al-Fatihah; Dzikrul Ghafilin; Fenomenologi.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 73-90; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.7278
Abstract:
This paper discusses the meaning of gratitude in the Qur'an in the Babarit Tradition in Kuningan. This study uses the history-social approach method, the results of the study show that applying a form of gratitude to the Babarit tradition in Kuningan, there is a uniqueness, namely Babarit is an implementation of gratitude which is packaged in the routine activities of the Sundanese community which then has cultural values as a Sundanese ethnic identity and also as a selling point for tourism attraction. in Kuningan. AbstrakTulisan ini membahas tentang makna syukur dalam al-Qur’an pada tradisi kabarit di Kuningan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan history-social. hasil dari penelitian menunjukkan bahwa mengaplikasikan bentuk rasa syukur pada tradisi Babarit di Kuningan terdapat sebuah keunikan, yaitu Babarit yang merupakan implementasi dari rasa syukur yang dikemas dalam kegiatan rutin masyarakat Sunda yang kemudian terdapat nilai budaya sebagai identitas suku Sunda dan juga sebagai nilai jual daya tarik pariwisata di Kuningan.Kata Kunci: Babarit, Syukur, Kuningan.
Published: 23 June 2021
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 15, pp 47-72; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v15i1.8402
Abstract:
Al-Insyirah surah reading in Amaliyah Al-Anwar Al-Khususiyah Al-Khotmiyah by the Al-Khidmah congregation, Sukorejo District, Blitar City. This amaliyah routine activity is carried out every Thursday Ba'dha Ashar at the Ar-Rohmah Pakunden Mosque, Blitar City. Amaliyah specifically is one of the amaliyah entered by Thoriqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyah. In this practice, Surah Al-Insyirah is chosen as one of the chapters of choice between dhikr because many people find it useful in everyday life. The type used in this research is field research, the nature of this type of research is of course investigating data from the field, using the Karl Menheim theory of meaning approach. After the author conducts research, it can be revealed that the recitation of the QS Al-Insyirah in special amaliyah has an attraction because it is read 79 times in a miracle or together when the routine begins to ask for protection from Allah SWT when facing serious problems become minor and complex ones become easy. This Surah clearly states that behind all difficulties there will be a way. So from that in this amaliyah surah Al-Insyirah seems to be a dhikr and a constant reading when asking for something from the creator. AbstrakPembacaan surah Al-Insyirah dalam Amaliyah Al-Anwar Al-Khususiyah Al-Khotmiyah oleh jama’ah Al-Khidmah sebagai kegiatan rutinan amaliyah ini dilaksanakan setiap hari kamis ba’dha Ashar. Amaliyah khususy adalah salah satu amaliyah yang diajarkan oleh Thoriqoh Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Dalam amaliyah ini memilih surah Al-Insyirah sebagai salah satu surah pilihan di sela-sela dzikir karena banyak orang yang merasakan manfaatnya dalam kehidupan sehari-hari. Jenis penelitian yang digunakan dalam kajian ini yaitu field research, sifat dari jenis penelitian ini tentu saja dengan menggali data dari lapangan, dengan menggunakan pendekatan teori makna Karl Menheim. Setelah penulis mengadakan penelitian maka dapat disimpulkan bahwa pembacaan Q.S Al-Insyirah dalam amaliyah khususy mempunyai daya tarik tersendiri karena dibaca 79 kali secara bermajlis atau bersama-sama ketika rutinan tersebut dimulai guna memohon perlindungan dari Allah SWT manakala menghadapi masalah yang berat menjadi ringan dan yang rumit menjadi mudah. Surah ini memang menyebut dengan tegas bahwa dibalik semua kesulitan pasti akan ada jalan. Maka dari itu dalam amaliyah ini surah Al-Insyirah seolah-olah menjadi dzikir dan bacaan tetap ketika memohon sesuatu kepada sang pencipta.Kata Kunci: Amaliyah Al-Anwar Al-Khususiyah Al-Khotmiyah; Jam’iyah Al-Khidmah Pakunden Kota Blitar; QS. Al-Insyirah.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 333-358; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.7442
Abstract:
This article examines the principles of the Qur'an related to the environment by continuing to pay attention to relationships with God and social beings, and to pay attention to the conservation of the surrounding environment. This article uses a thematic method by exploring exegetical books with various verses and interpretations of the environment. The results of this study indicate that there are six principles of the Qur'an related to the environment: 1) the principle of tauhid, the principle that nature and the environment are part of the mark of God's rudeness, 2) humans as caliph on earth, 3) the principle of trust (amanah), 4) the principle of justice , 5) the principle of harmony and 6) the principle of balance. This proves that the Qur’an teaches compatibility between spiritual and scientific paths. These six principles can also become the foundation for preventing environmental crises based on the Qur'an. AbstrakArtikel ini akan mengkaji tentang prinsip-prinsip al-Qur’an terkait lingkungan dengan terus memperhatikan relasional dengan Tuhannya dan makhluk sosial, serta mereka juga harus memperhatikan konservasi lingkungan sekitarnya. Artikel ini menggunakan metode tematik dengan menelusuri kitab-kitab tafsir dengan berbagai ayat dan penafsiran tentang lingkungan. Dari hasil penelitian, dapat ditemukan enam prinsip yang terkait lingkungan yaitu prinsip tauhid, prinsip bahwa alam dan lingkungan bagian dari tanda kebasaran Allah, manusia sebagai khalifah di bumi, prinsip amanah, keadilan dan prinsip keselarasan dan keseimbangan. Hal itu membuktikan bahwa al-Qur’an mengajarkan adanya kesesuaian antara jalan ruhani dan ilmiah. Keenam prinsip itu juga dapat menjadi pondasi dalam mencegah krisis lingkungan yang berlandaskan al-Qur’an.Kata Kunci: Konservasi Lingkungan, Wawasan dan Ayat Ekologi.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 205-220; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.7010
Abstract:
Marriage requires sufficient mental, social, and material readiness to build a household. However, the Al-Qur'an calls for marriage even in a state of poverty.This contradicts the present context which requires preparedness before marriage. This paper aims to explore further the recommendations for marriage in QS. An-Nur: 32 with a few questions. First, what did QS. An-Nur: 32 mean to order marriage even though he was in poverty?. Second, what is the significance of QS. An-Nur: 32 is contextualized in the present context?. This research will use the theory of hermeneutics ma'na cum maghza which was popularized by Sahiron Syamsuddin. This research concludes that the recommendation to marry in a destitute state is not the main purpose of QS.An-Nur: 32, but rather as a liberator for slaves, a recommendation to respect those who cannot afford it, as well as a recommendation to marry for those who are able. AbstrakPernikahan membutuhkan kesiapan mental, sosial, dan materi yang cukup untuk membangun rumah tangga. Namun al-Qur’an berkata lain, al-Qur’an menyerukan untuk menikah meskipun dalam keadaan fakir. Hal ini tentu saja mengalami kontradiksi dengan konteks sekarang yang mengharuskan kesiapan sebelum pernikahan. Oleh karena itu, tulisan ini bertujuan untuk menggali lebih lanjut anjuran menikah dalam QS. An-Nur: 32 dengan beberapa pertanyaan. Apa maksud dan tujuan QS. An-Nur: 32 memerintahkan menikah meskipun dalam keadaan fakir? kemudian bagaimana signifikansi dari QS. An-Nur: 32 dikontekstualisasikan dalam konteks sekarang? Untuk menjawab rumusan masalah di atas, penelitian ini akan menggunakan teori hermeneutika ma’na cum maghza yang dipopulerkan oleh Sahiron Syamsuddin. Dari penelitian yang dilakukan, maka dapat disimpulkan bahwa anjuran menikah dalam keadaan fakir bukanlah maksud dan tujuan utama dari QS. An-Nur: 32, melainkan sebagai pembebas bagi para budak dan hamba sahaya, anjuran untuk lebih menghargai orang-orang yang tidak mampu, serta anjuran menikah bagi yang telah mampu. Kata Kunci: Q.S. An-Nur, Menikah, Maghza.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 239-270; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6887
Abstract:
This paper talks about the tradition of reading the Koran for pregnant women, which has been a hereditary culture in society. The letters read during the procession vary, but the most frequently chosen ones are the letters of Yūsuf, Maryam, and Yāsīn. The tradition of reciting the Koran to pregnant women is later transformed and adapted to the digital world in the online media YouTube. In which in the uploaded content, it contains the reading of the Koran which in the traditions of the local community is often the choice to read. Therefore, this paper focuses on three problem formulations, first, how is the sacredness of the Koran in the digital world? Second, how is the tradition of reading the Koran for pregnant women in the community? And third, can this tradition be replaced by digital media? The research method is descriptive analytical method by describing the social phenomena that occurs. The approach is a historical-critical approach, by analyzing what are the factors that cause the phenomenon of the tradition of reading the Koran pregnant women to emerge, then it is digitally adapted into the You Tube media. The results of the research that the author gets is that with the rapid development of the times, it does not make the tradition of reading the Koran for pregnant women disappear or be abandoned, but instead this tradition can be transformed and adapted into a digital version.Although, the transformation is only limited to the physical form of reading the al-Qur'an, from the point of view of selecting the letter, it appears that it really adapts the local cultural traditions. The transformation of the tradition of reading the Koran for pregnant women into digital form, in this case You Tube media cannot replace traditions or culture such as mitoni, four months, etc. Because it contains elements of mutual cooperation between communities, which cannot be replaced by online media. AbstrakTulisan ini berbicara tentang tradisi membaca al-Qur’an untuk ibu hamil yang telah menjadi budaya turun temurun di tengah masyarakat. Adapun surat-surat yang dibaca ketika dalam prosesi tersebut bervariasi, tetapi yang paling sering menjadi pilihan adalah surat Yūsuf, Maryam, dan Yāsīn. Tradisi membacakan al-Qur’an untuk ibu hamil kemudian dalam perkembangannya bertransformasi dan diadaptasi ke dunia digital dalam media online YouTube. Dimana dalam konten-konten yang diunggah, berisi bacaan al-Qur’an yang dalam tradisi masyarakat lokal sering menjadi pilihan untuk dibaca. Maka dari itu Tulisan ini berfokus kepada tiga rumusan masalah, yaitu pertama, bagaimana sakralitas al-Qur’an di dunia digital ?. Kedua, bagaimana tradisi pembacaan al-Qur’an untuk ibu hamil di tengah masyarakat?, dan ketiga, apakah tradisi tersebut dapat digantikan dengan media digital? Metode penelitian yang digunakan adalah metode deskriptif analitis dengan mencoba untuk mendeskripsikan fenomena sosial yang terjadi. Pendekatan yang digunakan adalah pendekatan historis-kritis, dengan menganalisa apa saja faktor yang menyebabkan fenomena tradisi bacaan al-Qur’an untuk ibu hamil muncul, kemudian diadaptasi secara digital ke dalam media You Tube. Hasil penelitian yang penulis dapatkan adalah dengan perkembangan zaman yang pesat, tidak membuat tradisi membaca al-Qur’an untuk ibu hamil menghilang atau ditinggalkan, namun sebaliknya tradisi tersebut dapat bertransformasi dan diadaptasi ke dalam versi digital. Walaupun, transformasinya hanya sebatas bentuk fisik dari membaca al-Qur’an, namun dari segi pemilihan surat tampak bahwa benar-benar mengadaptasi tradisi budaya lokal. Tranformasi tradisi membacakan al-Qur’an untuk ibu hamil ke dalam bentuk digital, dalam hal ini media You Tube tidak dapat menggantikan tradisi atau budaya seperti mitoni, empat bulanan, dan lain sebagainya Karena di dalamnya mengandung unsur gotong royong antar masyarakat, yang tidak dapat digantikan dengan media online. Kata Kunci: Al-Qur’an, Digital, Ibu Hamil, Sakralitas, Tradisi.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 271-292; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6578
Abstract:
This paper examines the contextualization of the understanding of hadiths related to the leadership of the Quraysh tribe, where a problem arises how this hadith text intersects with the sociological and socio-cultural realities of modern society today and Islam has spread throughout the world and each country has already spread. Building and agreeing on a leadership system. This study is a normative literature study where the data comes from literature, books, books and articles related to the hadith study. Sources or studies of references are analyzed with content analysis using language, hadith, history and sociological approaches. Based on this study, the author can conclude that the hadith about the leadership of the Quraysh tribe textually states that the leadership of the Quraysh, however, needs a contextual understanding of the spirit and substance of the hadiths about the leadership of the Quraysh tribe that must be practiced and continue to carry out maqas} syari 'ah ah that is in it such as justice, truth, and protection. Abstrak Tulisan ini mengkaji kontekstualisasi pemahaman hadits-hadits yang terkait dengan kepemimpinan dari suku Quraisy, dimana muncul sebuah persoalan bagaimana teks hadits ini bersinggungan dengan realitas sosiologis dan sosi-kultur masyarakat modern saat ini dan Islam sudah menyebar ke seluruh penjuru dunia dan masing-masing negara sudah membangun dan menyepakati sistem kepemimpinan.Kajian ini merupakan kajian normatif kepustakaan di mana datanya berasal dari literatur, kitab, buku dan artikel yang berkaitan dengan kajian hadits tersebut.Sumber atau kajian dari referensi-refrensi dianalisa dengan analisa konten menggunakan pendekatan bahasa, ilmu hadits, sejarah dan sosiologis. Berdasarkan kajian tersebut, penulis dapat menyimpulkan bahwa hadits tentang kepemimpinan dari suku Quraisy secara tekstual memang menyatakan bahwa kepemimpinan dari kaum Quraisy, akan tetapi perlu pemahaman secara kontekstual dengan spirit dan substansi hadits-hadits tentang kepemimpinan dari suku Quraisy harus diamalkan serta tetap menjalankan maqas}id syari’ah ah yang ada didalamnya seperti keadilan, kebenaran, dan pengayoman. Kata Kunci:Al-Aimmah, Qurasy, Kontekstualisasi Pemahaman Hadits.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 221-238; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6503
Abstract:
This research discusses the history of isra'iliyyat in the tafsir book and what is the law of narrating isra'iliyyat. While in the isra'iliyyat narration there is difference whether it is permissible or not and how the isra'iliyyat narration is contained in the tafsir books. The method used in this research is qualitative literature study (Library Research). The results show that the history of Isra'iliyyat is in accordance with Islamic syari'at, then the truth of Israiliyyat can be recognized and allowed to narrate it. Otherwise if it is contrary to Islamic law, it considered unthrue and may not be narrated, but this is allowed if the position has been explained in the interpretation. On the other hand, if there is no information in the Islamic Sharia regarding the content of israiliyyat, then the step that must be chosen is tawaquf, which is not punishing whether it is true or not. AbstrakPenelitian ini membahas tentang riwayat isra’iliyyat dalam kitab tafsir serta bagaimana hukum meriwayatkan isra’iliyyat. Dimana dalam periwayatan isra’iliyyat terdapat perbedaan apakah boleh atau tidak serta bagaimana periwayatan isra’iliyyat yang terdapat dalam kitab-kitab tafsir. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif studi pustaka (Library Researh). Adapun hasil penelitian menunjukan bahwa riwayat Isra’iliyyat tersebut sesuai dengan syari’at Islam, maka dapat diakui kebenarannya dan diizinkan untuk meriwayatkannya, sedangkan jika bertentangan dengan syari’at Islam maka didustakan dan tidak boleh diriwayatkan, namun diperbolehkan jika dijelaskan kedudukannya. Adapun jika belum ada keterangan sesuai atau tidaknya dengan Syari’at Islam maka tawaquf di dalamnya, yaitu tidak menghukumi benar atau tidaknya.Kata Kunci: Riwayat Israiliyyat, Tafsir al-Qur’an, Asal usul dan Hukumnya.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 293-312; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6438
Abstract:
The purpose of this study is to describe the methodological study of hadith criticism. The research method is used with the approach of library study through the source of the library from various sources of literature about the methodology of the study of hadith criticism. Then analyzed and presented the data findings objectively. The result of this study is that the criticism of matan hadith is an attempt to research the hadith that is sahīh, in order to know if the hadith is maqbūl or mardūd. As for the steps are: Matan research reviewed from the quality of his isnay, researching the editor of the matan that is as good as it is, researching the content of matan and the latter is concluding the results of matan research. Then there are two methods of criticism that have been used from classical times to modern times, namely the muqāranah method and the mu'āradhah method. This method has been applied by the companions and tabi'in. This shows that criticism of hadith is necessary to be done with the aim of avoiding forgery against the hadith. AbstrakTujuan penelitian ini untuk mendeskripsikan tentang metodologis studi kritik matan hadits. Metode penelitian yang digunakan dengan pendekatan studi pustaka melalui sumber pustaka dari berbagai sumber literatur tentang metodologis studi kritik matan haditst. Kemudian dianalisis dan disajikan hasil temuan data secara objektif. Hasil dari penelitian ini yaitu kritik matan hadits adalah suatu upaya kegiatan penelitian terhadap matan-matan hadits yang sanad-nya sahīh, dalam rangka untuk mengetahui apakah hadits tersebut maqbūl ataupun mardūd. Adapun langkah-langkahnya yaitu: Penelitian matan yang ditinjau dari kualitas sanad-nya, meneliti redaksi matan yang semakna, meneliti kandungan matan dan yang terakhir adalah menyimpulkan hasil penelitian matan. Kemudian ada dua metode kritik matan yang sudah dipakai sejak zaman klasik hingga zaman modern, yaitu metode muqāranah dan metode mu’āradhah. Metode inilah yang sudah diterapkan oleh para sahabat dan para tabi’in. Hal demikian menunjukkan bahwa kritik matan hadits sangat perlu untuk dilakukan dengan tujuan agar menghindari pemalsuan terhadap matan hadits. Kata Kunci: Matan, Langkah dan Metode.
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 179-204; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6318
Abstract:
The article discusses the interpretation of Surat al-Najm Nicolai Sinai by using the literature review method. The article aims to explain the background of the interpretation, the methods used, to the form of interpretation produced by Nicolai Sinai. As a way to find out the characteristics of the interpretation of Surah al-Najm Sinai compared to the interpretations of other exegete, the article also examines the interpretations made by other exegete on Surah al-Najm, both classical and contemporary. The study concludes that the background to Nicolai Sinai's interpretation of surah al-Najm is to voice his opinion on the debates of scholars about the verse gharaniq and to discuss in more detail the verses that explain the encounter of the Prophet Muhammad with Allah. The following are Sinai's conclusions about Surah al-Najm that differ from the interpretation produced by exegetes. 1) the 7th verse of Surah al-Najm clearly says that the Prophet Muhammad met with Allah; 2) verses 23 and 26 to 32 are parenthetical paragraphs for the structure and content are not following the unity of the verse; 3) Satan verses or gharaniq verses are not part of revelation. The Sinai's study was published in the Journal of Qur'anic Studies in 2011 with the title An Interpretation of Surah al-Najm (QS.53). AbstrakTulisan ini membahas interpretasi surat al-Najm Nicolai Sinai dengan menggunakan metode kajian pustaka. Tujuan kajian ini adalah hendak memaparkan latar belakang interpretasi, metode yang digunakan, hingga bentuk interpretasi yang dihasilkan oleh Nicolai Sinai. Tulisan ini juga mengkaji penafsiran yang dilakukan oleh mufassir lain terhadap surat al-Najm, baik klasik maupun kontemporer untuk mengetahui ciri khas interpretasi surat al-Najm Sinai dengan para mufassir lain. Kajian ini mendapatkan kesimpulan bahwa latar belakang interpretasi Nicolai Sinai terhadap surat al-Najm adalah untuk menyuarakan pendapatnya terhadap perdebatan para sarjanawan tentang ayat gharaniq dan untuk membahas lebih detail ayat yang menjelaskan tentang berjumpanya Nabi Muhammad dengan Tuhan. Kesimpulan Sinai terhadap surat al-Najm yang berbeda dari penafsiran yang selama ini dilakukan oleh mufassir adalah: 1) ayat ke-7 surat al-Najm jelas mengatakan bahwa Nabi Muhammad bertemu dengan Tuhan, Sang Penutur Wahyu; 2) Ayat k3 23 dan 26 hingga 32 merupakan ayat sisipan karena secara struktur dan konten tidak sesuai dengan kesatuan surat; 3) Ayat setan atau ayat gharaniq bukan bagian dari wahyu. Kajian Sinai ini dimuat dalam Journal of Qur’anic Studies pada tahun 2011 dengan judul An Interpretation ofSurah al-Najm (QS.53).Kata Kunci: Interpretasi, Surat al-Najm, Nicolai Sinai
Published: 25 December 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 313-332; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i2.6307
Abstract:
This article tries to review the understanding of Qs. Al-Hajj verses 40 and QS. Muhammad verse 7. From the verse quotation literally, Allah will reward those who help Him, concerning helping Allah Is this illustrated here as a favor to ordinary people? When should God need help? So it is necessary to emphasize the phrase ".... people who help His religion ..." in some classical and modern interpretations of the literature, so as to get a comprehensive description of the verse. In addition, this study uses the ma'na cum maghza approach initiated by Sahiron Syamsudin, the author tries to explore the meaning to be conveyed in the verse, both literally (ma'na) and its significance (maghza) in this modern era, so that a new discourse is formed to achieve peace in religion for the sake of mutual benefit in the midst of a plural society. The author gets the substance that what is meant to help God is about the delivery of truth, understanding pluralism in religion and enforcement of the teachings of Islam.AbstrakArtikel ini mencoba untuk meninjau ulang pemahaman atas Qs. Al-Hajj ayat 40 dan QS. Muhammad ayat 7. Dari kutipan ayat tersebut secara literalis Allah akan memberikan imbalan bagi siapa yang menolong-Nya, perihal menolong Allah disini apakah diilustrasikan sebagai tolong-menolong pada manusia biasa? Kapan sekiranya Allah perlu ditolong? Sehingga perlu untuk menegaskan kalimat “....orang yang menolong agama-Nya....” dalam beberapa literatur kitab tafsir klasik dan modern, sehingga mendapatkan deskripsi ayat yang komprehensif. Selain itu penelitian ini menggunakan pendekatan ma’na cum maghza yang digagas oleh Sahiron Syamsudin. Penulis mencoba menelusuri makna yang hendak disampaikan dalam ayat tersebut, baik secara literal (ma’na) dan signifikansinya (maghza) pada era modern ini, sehingga terbentuk wacana baru untuk mencapai perdamaian dalam beragama demi kemaslahatan bersama di tengah-tengah masyarakat plural. Penulis mendapatkan substansi bahwa yang dimaksud menolong Allah adalah perihal penyampaian kebenaran, paham pluralisme dalam beragama dan penegakkan terhadap ajaran-ajaran agama Islam.Kata Kunci: QS. Al-Hajj: 40, QS. Muhammad: 7, Ma’na cum Maghza.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 79-98; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.6314
Abstract:
The Qur’an not only serves as a guidance for Muslims but also admonition for humans. Through its revelation, God gives rewards to those who obey Him and threatens with punishments to those who disobey Him. Q. al-Ankabut: 40one of Qur’anic verses discussing torment. The type of torment according to the Qur’an is divided into two: torment in the world and torment in the afterlife. The former can be understood in terms of both formal and substantial torment. Understanding the torment in the world, therefore, can encourage Muslims to avoid disobedience to God. Performing God’s commands is the very principle of human creation. Indeed, torment according to the Qur’an is not limited to four categories. But, this article particularly discusses four categories of torment in the world explained in Q. al-Ankabut: 40, namely Hasiba, Ash Shaihah, Khasafa fil Ardhi, and Aghraqa. These four torments are related to God’s speech in the previous verses and other verses in the Qur’an. It is significant, therefore, to study the verse to understand God’s torments to humans. The verse should be read thematically in relation to other verses. AbstrakAl-Qur’an di samping sebagai hukum pedoman bagi umat Islam berfungsi juga sebagai sebuah kitab peringatan untuk manusia. Di dalamnya Allah swt. memberikan janji bagi orang-orang yang taat kepada-Nya dan mengancam dengan azab bagi yang durhaka kepada-Nya. QS. Al-Ankabut: 40 merupakan salah satu contoh ayat yang membicarakan tentang azab dari sekian banyak ayat. Karena pembahasan azab dalam al-Qur’an secara prinsipnya terbagi menjadi dua; yaitu azab di dunia dan azab di akhirat. Azab di dunia terbagi pula kepada azab yang dhahir dan maknawi. Mengetahui azab yang Allah swt. turunkan di dunia mampu mempengaruhi seseorang untuk menjauhi kemaksiatan kepada-Nya. Dan menjauhi azab dengan mewujudkan perintah Allah swt. merupakan perkara asas penciptaan manusia. Azab dalam al-Qur’an tidak terbatas pada 4 jenis saja, akan tetapi pada pembahasan ini dibatasi pada kajian surah Al-Ankabut ayat 40 yang mengkaji 4 jenis azab di dunia. Yaitu Hasiba, Ash Shaihah, Khasafa fi Al Ardhi dan Aghraqa. Keempat azab tersebut memiliki keterkaitan dengan pembicaraan Allah swt. pada ayat-ayat sebelumnya dan ayat-ayat pada surat yang lain. Oleh karenanya sangat perlu mengkaji ayat tersebut agar mendapatkan kesimpulan yang benar terkait azab yang Allah berikan kepada hambanya. Kemudian akan disandingkan dengan beberapa ayat dan penafsiran yang berkaitan dengan tema azab. Kata Kunci: Azab Dunia, Empat Azab, Azab Dhahir.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 43-62; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.6047
Abstract:
The Qur’an is guidance for all human beings, the message of God revealed through various communicative styles. Qur’anic revelation to the Prophet Muhmmad is centrally discussed in the science of the Qur’an ('ulumul qur'ân) under the theme of ‘the occasion of revelation (asbâb an-nuzul). In producing law (istinbath), a Muslim jurist or exegete should not only rely on the text of the Qur’an but also the context in which it was revealed. It is significant, therefore, to examine the function of asbâb an-nuzul in the context of interpretation, using a descriptive-analytical method. It functions as follows. First, it makes Qur’anic verses more relevant to contemporary conditions. Second, by knowing the occasion of revelation, an exegete not onlyunderstand Qur’anic verses as a textual redaction but also in response to conditional needs in a given context. AbstrakAl-Qur’an adalah hidayah bagi segenap manusia, dalam menurunkan pesan kewahyuan Allah swt. menggunakan berbagai macam gaya. Diturunkannya al-Qur’an kepada Nabi Muhammad saw. melalui berbagai proses yang melatar belakanginya, dalam pembahasan ‘ulumul qur’ân, ini disebut asbâb an-nuzul, ketika mengambil istinbath hukum dalam al-Qur’an seorang mufassir tidak hanya berpatokan pada teks al-Qur’an, melainkan juga harus melihat konteks ayat ketika diturunkan. Maka perlu adanya penelitian terhadap fungsi asbab an-nuzul dengan pendekatan deskriptif-analitis. Di antara fungsi asbâb an-nuzul dalam penafsiran ialah; pertama, untuk menjadikan ayat al-Qur’an lebih relevan dengan kondisi yang dihadapinya, Kedua, dengan mengetahui asbâb an-nuzul seorang mufassir tidak hanya melihat ayat al-Qur’an sebagai redaksi akan tetapi lebih kepada tuntunan kondisi. Kata Kunci: Asbâb An-Nuzul, Fungsi, Penafsiran, Kontekstual.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 99-134; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.5510
Abstract:
Qoeran Dajawen is a Qur’anic exegetical work in the Nusantara Archipelago, written as a solution in response to a religious condition in Indonesia, particularly in Surakarta city in the early 20thcentury. To uncover this exegetical work comprehensively, I use a descriptive-hermeneutical analysis. I argue that in interpreting the Qur’an, it employs an analytical method of interpretation (tahlili), highly articulated through the Sufi style approach. This can be seen that the author uses the concept of maqāmāt in interpreting many verses of the Qur’an. Furthermore, its source of interpretations highly relies on modernist Muslim literature, as it is closely associated with Muhammadiyah, the modernist Muslim organization in Indonesia.The uniqueness is that it is written in the Javanese-literary script (cacarakan) with Javanese krama inggil. The purpose is to facilitate the transmission of knowledge for the grassroots so that it is expected that they can adequately understand Islamic teachings. AbstrakKitab Tafsir Qoeran Djawen adalah sebuah karya tafsir Nusantara yang ditulis guna sebagai solusi atas runyamnya kondisi keagamaan di Indonesia khususnya Surakarta pada awal abad 20 M. Guna mengungkap kitab ini secara komprehensif, penulis menggunakan analisis deskriptif-hermeneutis. Sehingga dapat disimpulkan bahwa kitab ini menggunakan metode tahlili dalam aplikasi penafsirannya. Coraknya sendiri sangat kental dengan corak sufi. Hal ini ditandai dengan ditemukan banyaknya penafsiran-penafsiran yang menggunakan konsep maqāmāt. Sedangkan sumber-sumber yang dipakai tafsir ini cenderung menggunakan literatur-literatur berbau modernis, sebab tafsir ini lekat dengan organisasi Muhammadiyah. Keunikan yang menjadikan karakter tersendiri bagi kitab ini adalah penulisan tafsir yang menggunakan aksara cacarakan disertai bahasa Jawa krama inggil. Hal ini dilakukan guna mempermudah dalam transfer of knowledge (transfer pengetahuan) untuk memahami ajaran agama Islam secara komprehensif bagi kalangan akar rumput. Kata Kunci: Tafsir Qoeran Djawen, Karakteristik, Metode.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 23-42; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.5463
Abstract:
The era of the industrial revolution 4.0 is an era that utilizes the sophistication of technology, artificial intelligence, and digital to create conditions that are more effective and efficient in terms of the industry for the sake of convenience for humans. However, as the times evolve, industrial changes no longer go according to the purpose created. Also, the industrial revolution which has experienced these four changes, from time to time suffered a moral decline. Departing from this, this study will examine why moral decline occurred with the development of the industrial revolution and how the contribution of the values of the Qur'an and Pancasila to the industrial revolution era 4.0. This research is library research by using the method of interpretation and data analysis to obtain a conclusion. The results of this study are that moral decline is caused by the creators and technology developers themselves who create value-free science, thus leading to the collapse of moral values and humanity. Presenting the values of the Qur'an and Pancasila in the era of the industrial revolution 4.0 will make its development have high morality and humanity. Al-Qur'an and Pancasila will control at the same time be a good and bad measure in its development. AbstrakEra revolusi industri 4.0 adalah era yang memanfaatkan kecanggihan teknologi, kecerdasan buatan dan digital untuk menciptakan kondisi yang lebih efektif dan efisien dalam hal perindustrian demi kemudahan bagi manusia. Namun, seiring berkembangnya zaman, perubahan industri tidak lagi berjalan sesuai dengan tujuannya diciptakan. Selain itu, revolusi industri yang telah mengalami empat kali perubahan ini, dari masa ke masa mengalami kemunduran moral. Berangkat dari hal tersebut, penelitian ini akan mengkaji kenapa terjadi kemunduran moral dengan seiring berkembangnya revolusi industri dan bagaimana kontribusi nilai-nilai al-Qur’an dan pancasila terhadap era revolusi industri 4.0. Penelitian ini adalah penelitian kepustakaan dengan menggunakan metode interpretasi dan analisis data sehingga didapatkan suatu kesimpulan. Adapun hasil penelitian ini yaitu kemunduran moral disebabkan oleh para pencipta dan pengembang teknologi itu sendiri yang menciptakan ilmu pengetahuan bebas nilai, sehingga mengantarkan runtuhnya nilai-nilai moral dan kemanusiaan. Menghadirkan nilai-nilai al-Qur’an dan Pancasila di dalam era revolusi industri 4.0 akan menjadikan perkembangannya memiliki moralitas yang tinggi dan manusiawi. Al-Qur’an dan Pancasila akan mengontrol sekaligus menjadi ukuran baik dan buruk dalam perkembangannya. Kata Kunci: Al-Qur’an, Pancasila, Revolusi Industri 4.0
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 1-22; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.4954
Abstract:
The Qur’an, which has the status of a Muslim holy book, is experiencing "alienation" because it is considered unable to make practical contributions to various new challenges that arise. Al-Qur’an and Pancasila, which are the two important handles of Indonesian Muslims, are expected to not only keep up with the times. More than that, the al-Qur’an and Pancasila must really be able to fill the void and give an active role through its values, to bring the progress of Indonesia with a distinctive personality in the face of the Industrial 4.0 era. This paper tries to review the strengthening of Muslim Hub as a strategy in dealing with Industry 4.0 through contextualization of the values of the Koran and Pancasila. This study uses Max Weber's theory of Protestant ethics. In a book entitled The Protestant Ethics and Spirit of Capitalism, Weber has done a thorough analysis of the relationship between capitalism and religion. AbstrakAl-Qur’an dan Pancasila harus betul-betul mampu mengisi kekosongan dan memberi peran aktif melalui nilai-nilainya, untuk membawa kemajuan Indonesia dengan kepribadian yang khas dalam menghadapi era Industri 4.0. Tulisan ini mencoba mengulas seputar penguatan muslim hub sebagai strategi dalam menghadapi Industri 4.0 melalui kontekstualisasi nilai al-Qur’an dan Pancasila. Dalam penelitian ini ada dua bukti empiris yang pertama order monastic, dimana orang saleh ternyata juga memiliki prestasi yang gemilang dari sisi material. Kedua sekte protestan yang memiliki prestasi yang gemilang dalam fase awal munculnya kapitalisme modern. Penelitian ini menggunakan teori Max Weber tentang etika Protestan. Dalam buku yang berjudul The Protestan Ethics and Spirit of Capitalism, Weber telah melakukan analisa yang mendalam mengenai relasi kapitalisme dan keagamaan yang menunjukkan betapa agama memiliki pengaruh kuat dalam pembentukan karakter pemeluknya. Jika ditarik ke kajian yang lebih luas, maka ideologi memiliki peran kuat dalam mempengaruhi perilaku pengikutnya, baik ideologi keagamaan maupun ideologi kenegaraan. Kata Kunci: Kontekstualisasi, Al-Qur’an, Pancasila, Industri 4.0.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 135-160; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.4480
Abstract:
Ma'alim al-Tanzilby Al-Baghawi is a commentary book that has a concise explanation. Ma'alim al-Tanzil belongs to the commentary bookwhich is in the middle of the discussion, neither too long nor too short. The contents of the discussion are simple and not long winded. This paper wants to discuss about methodology, strenghts and weakness of the Tafsir Al-Baghawi. The method used in this paper is descriptive-analytic with the aim of further discussing and anlysing the interpretation method of the Qur’an used by Al-Baghawi in the book of interpretation. In carrying out the classification analysis, this paper discusses the Ridwan Nasir classification model. The conclusion resulting from this article is: seen from the sources of interpretation of Al-Baghawi inclined to use the bi al-Iqtiran method. For breadth of explanation, it falls into the category of interpretation of tafsiliy/it}nabiy. Lather, method of presenting interpretation resulting from the target and order of the verses that are transferred using the interpretation method tahlili. In addition, from several methods used, based on further reading, Tafsir Al-Baghawi has advantages and disadvantages. There fore, this paper only focuson the methodology, weakness and strengths side of the Tafsir Al-Baghawi. AbstrakMa'alim al-Tanzil karya Al-Baghawi merupakan kitab tafsir yang memiliki penjelasan yang ringkas. Ma'alim al-Tanzil tergolong kitab tafsir yang berada di tengah-tengah dalam pembahasannya, tidak terlalu panjang dan juga tidak terlalu pendek. Muatan pembahasannya terbilang sederhana dan tidak bertele-tele. Tulisan ini ingin membahas seputar metodologi, kelebihan dan kekurangan dari kitab Tafsir Al-Baghawi. Metode yang digunakan dalam tulisan ini deskriptif-analitik dengan tujuan mengeksplorasi dan menganalisis lebih jauh metode penafsiran al-Qur’an yang digunakan Al-Baghawi dalam kitab tafsirnya. Dalam melakukan klasifikasi analisis, tulisan ini mengacu pada model klasifikasi Ridwan Nasir. Kesimpulan yang dihasilkan dari artikel ini yaitu: dilihat dari sumber penafsiran, Al-Baghawi condong menggunakan metode tafsir bi al-Iqtiran. Untuk keluasan penjelasan masuk pada kategori tafsir tafsily/it}nabiy. Adapun metode penyajian tafsir yang dihasilkan dari sasaran dan tertib ayat yang ditafsirkan menggunakan metode tafsir tahlili. Selain itu, dari beberapa metode yang telah digunakan, berdasarkan pembacaan lebih lanjut, Tafsir Al-Baghawi memiliki kelebihan dan kekurangan. Oleh karena itu, tulisan ini hanya berfokus pada sisi metodologi, kekurangan dan kelebihan dari Tafsir Al-Baghawi. Kata Kunci: Tafsir Al-Baghawi, Metodologi, Kelebihan dan Kekurangan.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 161-178; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.4183
Abstract:
The interpretation of hadith from the classical era to the contemporary era is always changing. Hadith is the second sources in the islamic tradition functioned as the supporting of the Qur’anic verses. On this day, contextual analysis of hadith became the significant method to achieve the real meaning in accordance with current situation. This article exemines the meaning of hadith contextually in the contemporary era using historical approach. The aim of this article is to comprehensively understand the significant meaning of hadith. It will be approriated to the current situation including the society. AbstrakMemahami sebuah hadits dari masa klasik sampai kontemporer terus berkembang. Dimana hadits sangat membantu dalam memahami ayat-ayat al-Qur’an, sehingga hadits menjadi pedoman ke dua setelah al-Qur’an. Dengan seiringnya perkembangan zaman, hadits dapat dipahami dengan cara kontekstual agar tidak berhenti pada pemaknaan tekstual dan berlaku sepanjang zaman. Artikel ini mencoba menjelaskan pemaknaan hadits dimasa kontemporer sekarang ini secara kontekstual dengan pendekatan historis-diskriptif. Dimana memahami teks hadits secara kontekstual akan lebih hidup dengan menyesuaikan kondisi masyarakat sekarang ini meskipun tidak semua dapat dikontekstualisasikan. Kata Kunci: Makna Hadits, Mutaqaddimin, Kontemporer, Kontekstual.
Published: 30 June 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 14, pp 63-78; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v14i1.4595
Abstract:
This study discusses Al-Sunnah Qabla Al-Tadwîn' by Muhammad ‘Ajjâj Al-Khatîb, a prominent figure of Islamic scholar and thinker from Damascus.It uses descriptive-analytical method. The result shows that the book discusses the history and development of both oral and written traditions in the period of the Prophet, Companions and Successors. The book also explains the periodization of the development of the hadith.This study, therefore, seeks to examine the mapping of the periodization of the prophetic tradition the author made. AbstrakPenelitian ini membahas tentang kitab ‘Al-Sunnah Qabla Al-Tadwîn’ Karya Muhammad ‘Ajjâj Al-Khatîb, sosok Ilmuwan dan pemikir Islam ternama dari Damaskus. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitis. Dari hasil penelitian ini menunujukkan bahwa kitab ‘Al-Sunnah Qabla Al-Tadwîn’ Karya Muhammad ‘Ajjâj Al-Khatîb membahas tentang sejarah dan perkembangan hadits baik lisan dan tulisan pada periode Nabi, Sahabat dan Tabi’in. Penelitian ini mencoba mengkaji tentang kitab ‘al-Sunnah Qabla al-Tadwîn’. Suatu kitab yang juga menjelaskan periodisasi perkembangan hadits, sehingga dengan penelitian yang dilakukan pada kitab tersebut, akan tampak bentuk pembagian atau pemetaan yang dilakukan oleh Muhammad ‘Ajjâj al-Khatîb sebagai pengarangnya. Kata Kunci: Al-Sunnah Qabla Al-Tadwin, ‘Ajjâj al-Khatîb.
Published: 24 January 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 157-170; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i2.4292
Abstract:
The Quran is the Holy book that is a revelation from God to guide humanity. The Quran has many chapters and verses concerning sciences. This study aimed to explore the content of the Quran using exegesis and all of its components as the main tools to comprehend the Quran. This was a qualitative historic-factual study based on the notion of Tommy Dazwir Paja Putra regarding the scientific miracle of chapters and verses numbers of the Quran. The results show that the numbers of the chapters and verses regarding humans (the prophets and their followers, devout persons, and the ungodly) or things in nature indicate of object location or the object properties. In conclusion, the Quran has scientific signs related to the various branch of sciences such as geography, astronomy, biology, chemistry, archeology, history, paleontology, and other sciences. AbstrakAl-Qur’an adalah kitab suci yang diturunkan Allah swt sebagai pedoman hidup umat manusia. Salah satu kandungan al-Qur’an adalah berkaitan tentang ilmu pengetahuan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menggali kandungan-kandungan al-Qur’an yang menjadi pedoman kehidupan. Oleh karenanya, ilmu tafsir dengan segala perangkatnya merupakan ilmu utama untuk dapat memahami kandungan al-Qur’an. Jenis penelitian ini adalah kualitatif yang bersifat historis-faktual, terhadap pemikiran tokoh Tommy Dazwir Paja Putra tentang kemukjizatan ilmiah nomor urut surat dan ayat al-Qur’an. Dari hasil penelitian disimpulkan bahwa al-Qur’an manakala berbicara tentang objek-objek di alam seperti objek manusia (para Nabi dan kaumnya, orang-orang shaleh dan orang-orang durhaka), maupun benda-benda di alam, maka ternyata nomor ayat dan nomor surat tersebut sebahagian memberi petunjuk tentang lokasi objek dan sebahagian lagi memberi petunjuk tentang sifat-sifat objek. Sehingga dapat disimpulkan bahwa al-Qur’an mengandung isyarat ilmiah yang terkait dengan banyak cabang ilmu seperti geografi, astronomi, biologi, kimia, arkeologi, sejarah palentologi dan sebagainya. Kata Kunci: Al-Qur’an, Nomor Ayat, Nomor Surat, Kemukjizatan ilmiah.
Published: 24 January 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 195-228; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i2.4168
Abstract:
As a holy book, al-Qur'an has function as a law and a way of life for Muslims. In this context, Muslims in modern times have problem in understanding the whole contents of the Qur’an. Therefore, exegetes formulate a method of understanding the Qur'an in line with certain themes or so-called the Maudlu'i interpretation method. This article aims to describe the Maudlu'i interpretation, the problems of the Maudlu'i interpretation, and examples of the Maudlu'i interpretation. This literature review use descriptive qualitative method. The results of the study indicate that the interpretation of Maudlu'i is a method of interpretation that seeks to explain the contents of the Qur'an based on a particular theme. There are three focuses of Maudlu'i interpretation that developed in the 20th century, namely the Maudlu'i method of interpretation which focuses on terminology, the Maudlu'i method of interpretation which focuses on themes or topics in the Qur’an, and the Maudlu'i method of interpretation which focuses on one particular chapter in the Qur’an. Regardless of the dynamics of strengths and weaknesses, Maudlu'i interpretation is more suitable with the living conditions of modern-day Muslims. This study reveal that the Maudlu'i method of interpretation plays an important role in understanding the content of the Qur'an. AbstrakSebagai kitab suci, al-Qur’an berfungsi sebagai undang-undang dan pedoman hidup umat Islam. Dalam konteks ini, umat Islam pada zaman modern seringkali kesulitan dalam memahami isi al-Qur’an secara keseluruhan. Oleh karena itu, para ahli tafsir kemudian merumuskan sebuah metode memahami al-Qur’an sesuai dengan tema-tema tertentu atau yang disebut sebagai metode tafsir Maudlu’i. Artikel ini bertujuan mendeskripsikan tentang Tafsir Maudlu’i, problematika tafsir Maudlu’i, dan contoh tafsir maudlu’i. Kajian pustaka ini dilakukan dengan metode deskriptif kualitatif. Hasil kajian menunjukkan bahwa tafsir Maudlu’i merupakan metode tafsir yang berusaha menjelaskan isi kandungan al-Qur’an berdasarkan tema tertentu. Metode tafsir yang berkembang pada abad 20 tersebut dibagi menjadi 3 kategori, yaitu tafsir maudlu’i yang fokus pada terminologi, tafir maudlu’i yang fokus pada tema atau topik dalam al-Qur’an, dan tafsir maudlu’i yang fokus pada satu surat tertentu dalam al-Qur’an. Terlepas dari dinamika kelebihan dan kekurangannya, tafsir Maudlu’i lebih sesuai dengan kondisi kehidupan umat Islam zaman modern ini. Hasil kajian menyimpulkan bahwa metode tafsir Mau’dlu’i memiliki peran penting dalam memahami isi kandungan al-Qur’an. Kata Kunci: Metode Mauḍu’ī, Tafsir dan Aplikatif.
Published: 24 January 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 137-156; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i2.4448
Abstract:
The Qur’an as the first source of reference for Muslims who are always relevant in every time and place, must have an informative meaning. It can undergo meaningful transformation in line with changing times. In the time of the Prophet, the word gulūl was understood by taking war booty before it was distributed. Wherwas current context war like during the time of the Prophet is no longer happening, it is necessary to re-interpret what the meaning of gulūl along with how to contextualize the use of the word in the Qur’an especially in the QS. Ali Imrān: 161. By using the Hermeneutic approach, this specifically borrows Abdullah Saeed’s Contextual theory in understanding the meaning of gulūl in the Qur’an especially QS. Ali Imrān; 161, then an interpretation can be produced between them; first, in the initial context gulūl was a form of betrayal, like taking the spoils of war. Secondly, in the current context gulūl can be understood with broad meanings of betrayal such as being unsafe and taking things secretly even though he has the right part of the thing. This can be described as corruption both material and time. The essence of Q.S Ali Imrān: 161, it can be interpreted a leader is not possible and should not do gulūl (acts of cheating). This verse shows the existence of protection values. AbstrakAl-Qur’an sebagai sumber rujukan pertama umat muslim yang selalu relevan dalam setiap waktu dan tempat, pastilah mempunyai makna informatif dan dapat mengalami transformasi pemaknaan seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman Nabi, kata gulūl dipahami dengan mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan. Sedangkan pada konteks sekarang, perang seperti pada masa Nabi sudah tidak lagi terjadi. Oleh karenanya, perlu adanya interpretasi ulang apa makna gulūl serta bagaimana kontekstualisasi penggunaan kata tersebut dalam al-Qur’an khususnya pada QS. Ali Imrān: 161. Dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika, khususnya meminjam teori Kontekstual Abdullah Saeed dalam memahami makna gulūl dalam al-Qur’an khususnya QS. Ali Imrān ayat 161, maka dapat dihasilkan interpretasi di antaranya; pertama, dalam konteks awal gulūl merupakan bentuk pengkhianatan, seperti mengambil harta rampasan perang. Kedua, dalam konteks saat ini gulūl dapat dipahami dengan makna khianat secara luas seperti tidak amanah dan mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi meskipun dia mempunyai bagian hak dari benda tersebut. Hal ini dapat digambarkan seperti korupsi secara materi maupun waktu. Adapun intisari QS. Ali Imrān: 161, dapat diartikan seorang pemimpin tidak mungkin dan tidak seharusnya melakukakan gulūl (tindak kecurangan). Ayat ini menunjukkan adanya nilai-nilai perlindungan/protectional values.Kata Kunci: Gulūl, Hermeneutika, Kontekstual, QS. Ali Imrān: 161
Published: 24 January 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 171-194; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i2.4164
Abstract:
Rahman is a contemporary Islamic thinker who intensely studies the Qur’an. According to him, the Qur'an appears in the historical horizon and is faced with a socio-historical background, the most appropriate question to get the Qur'an is historical approach. Rahman uses Double Movements’s method in his interpretation, which is a historical investigation that encompasses the text in the past to get its moral ideal which will be contextualized in contemporary society. This method or strategy is its protector and sword. On one hand this method proves how revelation has launched history. On the other hand, he will use the Qur'an as a normative standard to negate local traditions as well as religious practice values that involve norms derived from the Qur'an and sunnah. This study uses descriptive-analytical methods to discuss and further analyze the contextual methods offered by Rahman. The conclusion that can be drawn from this approach is an approach to the Koran by undertsanding its historical situation, both before and during the revelation, then draw the moral-ideal from that revelation, and project it in the present context. In projecting the ideal morals into the present context, the Mufassir must direct his attention to the goal of the Qur'an (moral ideal) as a unified whole, so that it will bring up for a concrete world view (weltanschaung). In essence, the contextualization of the ideal morals will result in the formulation of the ethics of the Qur'an that is able to support and develop the integrity of individuals and collectives in contemporary society.AbstrakRahman merupakan pemikir Islam kontemporer yang intens mengkaji al-Qur’an. Menurutnya, al-Qur’an muncul dalam horizon sejarah dan berhadapan dengan latar belakang sosio-historis, maka pendekatan yang paling tepat untuk memahami al-Qur’an adalah kesejarahan (historical approach). Metode yang digunakan dalam penafsirannya adalah Double Movement, yaitu investigasi sejarah yang melingkupi teks pada lampau untuk mengambil ideal moralnya yang akan dikontekstualisasikan dalam masyarakat kontemporer. Metode ataupun strategi ini merupakan pelindung dan pedangnya. Di satu sisi metode tersebut menunjukkan bagaimana wahyu telah membuka sejarah. Di sisi lain, ia akan menggunakan al-Qur’an sebagai standar normatif untuk meniadakan tradisi-tradisi lokal juga nilai-nilai praktik agama yang mengganggu norma-norma yang diperoleh dari al-Qur’an dan sunnah. Kajian ini menggunakan metode deskriptif-analitis untuk mengeksplorasi dan menganalisa lebih lanjut metode kontekstual yang ditawarkan Rahman. Kesimpulan yang bisa diambil dari pendekatan yang dimaksud adalah suatu pendekatan terhadap al-Qur’an dengan memahami situasi kesejarahan, baik sebelum maupun dimasa pewahyuan, untuk kemudian menarik ideal-moral dari wahyu tersebut, dan memproyeksikannya dalam konteks kekinian. Dalam memproyeksikan ideal moral terhadap konteks kekinian, mufassir harus mengarahkan perhatianya pada tujuan al-Qur’an (ideal-moral) sebagai suatu keseluruhan yang utuh, sehingga akan memunculkan suatu pandangan dunia (weltanschaung) yang konkret. Secara garis besar, kontekstualisasi atas ideal moral tersebut akan menghasilkan suatu rumusan etika al-Qur’an yang mampu melindungi dan mengembangkan integritas para individu dan kolektif dalam masyarakat kontemporer.Kata Kunci: Fazlur Rahman, Kontemporer, Kontekstual, Metode Penafsiran
Published: 24 January 2020
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 113-136; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i2.3640
Abstract:
Amongst some orientalist of Qur’anic studies, Arthur Jeffery was one of the controversial figures for the idea of a critical edition of the Qur’an. For Jeffery, the Qur’an existed today is unreasonable and its arrangement is clearly haphazard. One of his critical argument is surah al-Fatihah which indicated not originally part of the Qur’an. His work “the variant readings of the Fatihah” showed some peculiar nature of al-Fatiha with the evidence of two Fatihah different versions. Jeffery’s variants study is a polemical argument as its contradicts to the Muslim scholar arguments. For Muslim scholars, al-Fatihah is an integrated part of Qur’an. Therefore, this article will analyze Jeffery’s argument on al-Fatihah through a descriptive-analytic method. Based on historical, language, and qira’ah study, Jeffery’s argument is incorrect. In addition, Jeffery failed to show the existence of his evidence of variant of al-Fatihah.Keywords: Critic; Controversy; Fatiha; Muslim; the Qur’an AbstrakDiantara sekian banyak para orientalis pengkaji al-Qur’an, Arthur Jeffery merupakan salah satu sosok yang paling kontroversial dengan gagasannya untuk membuat al-Qur’an edisi kritis. Menurut Jeffery, al-Qur’an yang ada saat ini sangat tidak jelas dan susunannya dilakukan secara sembarangan. Salah satu bagian yang Jeffery kritisi adalah surat al-Fatihah yang dianggap bukan bagian dari al-Qur’an. Dalam tulisannya yang berjudul the variant readings of the Fatihah, dia menunjukkan kejanggalan dalam surat al-Fatihah dengan menunjukkan bukti dua variasi surat al-Fatihah yang berbeda. Kajian ini mengundang polemik karena bertentangan dengan pandangan para sarjana Muslim yang menganggap al-Fatihah sebagai bagian penting dari al-Qur’an. Tulisan ini akan menganalisasi pandangan Jeffery terhadap surat al-Fatihah melalui metode deskriptif-analitis. Melalui kajian historis, kebahasaan, dan ilmu qira’at, argumen skeptis Jeffery terhadap al-Fatihah terbantahkan. Ditambah lagi, Jeffery tidak mampu membuktikan keberadaan variasi surat al-Fatihah yang dia yakini. Kata Kunci: al-Fatihah; al-Qur’an; Kontroversi; Kritik; Muslim
Published: 26 June 2019
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 55-70; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i1.3900
Abstract:
ABSTRAK Artikel ini fokus pada kajian penafsiran tentang kenabian pendiri Ahmadiyah yaitu Mirza Ghulam Ahmad Tujuan dari studi ini adalah untuk menganalisa proses penafsiran yang dilakukan oleh Mirza Ghulam Ahmad berikut pokok-pokok pemikirannya yang dianggap keluar dari Islam mainstream. Untuk mencapai tujuan-tujuan ini, penulis menggunakan pendekatan kualitatif agar dapat menyajikan data secara lebih detail dan mendalam. Dari studi ini, diperoleh hasil bahwa proses penafsiran Mirza Ghulam Ahmad dipengaruhi oleh faktor sosial-politik yang berkembang di masanya. Penafsirannya tentang konsep kenabian sangat berseberangan secara diametral terhadap teologi ortodok Keywords: Proses, Penafsiran, Konflik Sosial
Published: 26 June 2019
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 95-112; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i1.3944
Abstract:
Abstract This article is about interpretation QS. Al-Baqarah: 190-193. The verse is the basis of terrorism in Indonesia. The development of terrorism in Indonesia continues to grow, especially the movement have a foundation you want to change Indonesia into an Islamic state ideology. Terrorism and radicalism can not be separated from the Qur’an as the basic foundation for jihad in Allah. Jihad not war and hostile to one another. We know that each of the Qur'an must have moral ideas and moral message that can be developed in the community. With Maghza Cum Ma'na approach in interpreting the Qur'an. Al-Baqarah: 190-193, the author wants to reveal the contextual meaning behind the verses that could be implemented by the general public. Abstrak Artikel ini berisi tentang Penafsiran QS. Al-Baqarah : 190-193. Ayat adalah tersebut menjadi dasar pelaku terorisme di Indonesia. Perkembangan terorisme di Indonesia terus berkembang terutama gerakan tersebut mempunyai dasar ingin menganti ideologi Indonesia menjadi negara Islam. Gerakan terorisme dan radikalisme tidak terlepas dari Alquran sebagai landasan dasar untuk jihad dijalan Allah. Jihad tidak perang dan saling bermusuhan satu sama lain. Kita ketahui bersama bahwa setiap dalam Alquran pasti mempunyai ide moral dan pesan moral yang dapat dikembangkan di masyarakat. Dengan pendekatan Ma’na Cum Maghza dalam menafsirkan QS. Al-Baqarah : 190-193, penulis ingin mengungkap makna kontekstual dibalik ayat sehingga dapat diterapkan oleh masyarakat pada umumnya. Kata Kunci : Dalil Terorisme, Fitnah, Interpretasi, Ma’na Cum Maghza, QS. Al-Baqarah : 190-193
Published: 30 December 2018
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 12, pp 137-164; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v12i2.2069
Abstract:
Kontekstualisasi merupakan cara yang digunakan oleh para ahli agama dalam menyikapi berbagai nash Al-Qur’an dan hadits yang bertujuan untuk mempermudah seseorang dalam beribadah kepada Allah dan selalu mengamalkan sunnah Rasul. Salah satu sunnah yang perlu untuk dikontekstualisasikan adalah tentang anjuran berjenggot. Dengan kemajuan zaman yang sangat pesat ini, perlu mengkaji ulang apakah anjuran yang terkandung dalam hadits tersebut masih sesuai atau tidak, karena kita ketahui bahwa zaman sekarang kaum non-Muslim juga banyak yang berjenggot. Ajaran Nabi lainnya yang perlu untuk dikontekstualisasikan yaitu tentang larangan isbal. Isbal adalah menjulurkan pakaian hingga melebihi mata kaki. Akan tetapi terdapat beberapa hadits yang berbeda dalam menjelaskan pelarangan isbal, yaitu ada yang melarang secara mutlak dan ada yang melarang secara khusus. Dengan begitu para ulama berpendapat mengenai hadits-hadits tersebut, dan mayoritas dari mereka mengatakan bahwa hakikat pelarangan itu karena adanya sifat sombong yang mengiringinya. Setelah mengetahui hakikat pelarangan tersebut maka mudah untuk mengkontekstualisasikan hadits tersebut dalam ranah ke-Indonesiaan. Akan tetapi masih terdapat beberapa golongan yang mengamalkan hadits tersebut sesuai dengan teksnya. Dengan berbagai pemahaman yang berbeda-beda ini seharusnya kita menjaga kesatuan dan persatuan dengan sikap toleransi terhadap pemahaman orang lain, bukan saling menyalahkan atau bahkan sampai mengkafirkan, karena kita masih saudara se-iman dan se-tanah air.
Published: 14 May 2019
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 12, pp 211-230; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v12i2.3896
Abstract:
Artikel ini mempelajari pola aktifitas sosial komunitas–komunitas yang ada di kota Bandung sebagai penafsiran terhadap amal shaleh. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Sedangkan teknik pengumpulan datanya menggunakan dokumentasi, observasi dan wawancara. Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh dan disajikan secara diskriptif dimulai dengan memaparkan yang telah diungkapkan oleh responden baik secara langsung, lewat tulisan maupun pengamatan secara langsung. Proses analisis data ini dilakukan dengan cara memulai menelaah semua data yang terkumpul dari berbagai sumber yang telah ditentukan sebelumnya. Hasil penelitian ini menunjukkan peran komunitas dalam membantu pemerintah dalam meringankan beban masyarakat yang kurang mampu ataupun korban-korban bencana alam. Eksistensi Komunitas dirasakan manfaatnya bagi masyarakat, hal ini menunjukkan bahwa nilai-nilai Filantropi sudah mulai berkembang ditengah komunitas-komunitas yang ada di kota Bandung. Realisasi nilai-nilai filantropi perlu disebarluaskan lebih lanjut, karena merupakan bagian substansi dalam beragama dan bermasyarakat. Kata Kunci: Problem kemanusiaan, Aksi Sosial, Nilai-nilai
Published: 26 June 2019
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 13, pp 1-26; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v13i1.3666
Abstract:
Abstrak Tulisan ini mencoba melakukan eksplorasi terhadap karya tafsir tabi’in, Muja>hid bin Jabar. Dalam mengindentifikasi keberadaan tafsir Mujahid, paling tidak terdapat dua sumber penafsiran yang digunakan pengarang dalam menafsirkan al-Qur’an; (1) sumber bi al-ma’tsur, yakni berdasarkan pada penjelasan al-Qur’an sendiri, berdasarkan hadis Nabi, pendapat sahabat, dan israiliyyat; (2) sumber bi al-ra’yi, yakni berdasarkan ijtihad sang mufassir. Sementara dalam menjelaskan al-Qur’an, metode yang diusung Mujahid adalah metode ijmali, yakni menafsirkan ayat al-Qur’an dengan bahasa yang ringkas, padat, dan tidak panjang lebar. Di samping itu, Mujahid juga menggunakan metode muqaran meskipun hanya relatif sedikit. Untuk corak penafsirannya, tafsir Mujahid tidak sampai pada corak disiplin ilmu tertentu, hanya sebatas kental dengan nuansa penafsiran dari gurunya – Ibn ‘Abbas, meskipun dalam beberapa penafsiran terdapat corak fiqhi dan kalami dengan kapasitas yang sangat sedikit. Abstract This paper tries to explore the work of tafsir tabi’in, Mujahid bin Jabar. In identifying the existence of Mujahid, interpretation there are at least two sources of interpretation used by the author in interpreting the Qur’an; (1) the source of bi al-ma’tsur, that is based on the Qur’an’s own explanation, in addition to the prophetic traditions, opinions of prophet’s companion, and also israiliyyat (2) the source of bi al-ra’yi, based on the ijtihad of the interpreter. While in explaining the Qur’an, the method that Mujahid carried is the ijmali method, which is to interpret the verses of the Qur’an in a brief language, solid, and not lengthy, also using the muqaran method although only slightly. For his interpretive style, Mujahid’s interpretation does not extend to any particular discipline, only limited with the feel of interpretation of his teacher – Ibn ‘Abbas, although in some interpretations there is a fiqhi and kalami pattern with very little capacity.