Results: 7
(searched for: Hukum Islam dan Hukum di Indonesia tentang Pernikahan Beda Agama)
Published: 11 December 2020
Journal: Jurnal Hadratul Madaniyah
Jurnal Hadratul Madaniyah, Volume 7, pp 1-14; https://doi.org/10.33084/jhm.v7i2.1986
Abstract:
Dalam Islam Perkawinan beda agama dilarang oleh kebanyakan ulama. Hal ini merujuk pada al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 221 dan Qur’an surat al-Mumtahanah ayat 10, Namun akibat adanya pandangan yang berbeda tentang hukum perkawinan beda agama, hal ini berdasarkan Alquran surat al-Ma‟idah ayat 5. Disamping itu juga terdapat kontradiktif tentang aturan pernikahan beda agama antara Pasal 56 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkwainan yang membuka peluang untuk dilakukannya pernikhan beda agama dengan Kompilasi Hukum Islam Pasal 44 Kompilasi Hukum yang menutup sama sekalai pernikahan beda agama. Oleh sebab itu banyak terjadi perkawinan beda agama di kalangan umat Islam, dan menimbulkan masalah yaitu bagaimana kawin beda agama ini dipandang baik menurut hukum Islam, dan hukum positip Indonesia. Penelitian ini bersifat diskriptik analitik dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif. Data yang sudah terkumpul dianalisa secara kualitatif dengan metode berfikir deduktif dan induktif. Pada akhirnya nanti dapat disimpulkan bahwa hakikat pernikahan adalah sebuah kontrak sosial, sehingga segala hal mengenai pernikahan sudah seyogyanya dikembalikan pada nilai-nilai subyektifitas yang akan melaksanakannya, sekalipun terdapat pelarangan seharusnya lebih bersifat sosiologis, bukan teologis dan realisasinyapun harus melalui fakta yang empirik bukan hanya prasangka-prasangka yang mengakibatkan sentimen kolektif terhadap komunitas lain
Published: 31 December 2018
Andragogi: Jurnal Diklat Teknis Pendidikan Dan Keagamaan, Volume 6, pp 46-69; https://doi.org/10.36052/andragogi.v6i2.56
Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji persamaan dan perbedaan cara pandang hukum Islam dan Hukum positif tentang pernikahan beda agama. Metode yang digunakan adalah kualitatif, dengan pendekatan komparatif. Dalam kajian hukum Islam, pernikahan beda agama diklasifikasikan pada tiga katagori: pernikahan pria muslim dengan wanita musyrik; pernikahan pria muslim dengan wanita ahlulkitab; dan pernikahan wanita muslimah dengan pria non muslim. Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam sebagai hukum positif telah melarang nikah beda agama. Karena itu, Kantor Urusan Agama maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan administratif atas peristiwa nikah beda agama
Hukum Islam, Volume 18, pp 141-156; https://doi.org/10.24014/hi.v18i2.4973
Abstract:
Salah satu fenomena yang terjadi di Indonesia adalah perkawinan beda agama. Perkawinan tersebut sebahagian dilakukan secara terang-terangan dan sebahagian dilakukan sembunyi-sembunyi. Islam melarang perkawinan beda agama berdasarkan firman Allah surat al-Baqarah ayat 221. Perkawinan beda agama juga dilarang oleh Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 pasal 2. Masalah pokok dalam penelitian ini adalah bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut peraturan perundang-undangan di Indonesia, dan bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut fuqaha. Penelitian ini merupakan penelitian pustaka. Sumber data dalam penelitian ini antaralain: al-Quran dan al-hadis, pendapat fuqaha,UU No 1 tahun 1974 tentang perkawinan, dan Kompilasi Hukum Islam.Untuk mengkaji pemasalahan tersebut yang digunakan penelitian kepustakaan (library research) dan bersifat deskriptif analitik. Hasil penelitian menunjukkan bahwa Pasal 2 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 1/1974”) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Pasal 10 PP No. 9 Tahun 1975 dinyatakan bahwa perkawinan baru sah jika dilakukan di hadapan pegawai pencatat dan dihadiri dua orang saksi. Dan tata cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Jadi, UU 1/1974 tidak mengenal perkawinan beda agama, sehingga perkawinan antar agama tidak dapat dilakukan.Pasal 40 KHI menyatakan larangan melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita tidak beragama Islam. Fuqaha sepakat bahwa perkawinan seorang perempuan muslimah dengan pria non muslim baik ahlul kitab atau musyrik tidak sah. Sedangkan perkawinan pria muslim dengan wanita beda agama terjadi perbedaan pendapat.
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies, Volume 56, pp 367-394; https://doi.org/10.14421/ajis.2018.562.367-394
Abstract:
The Indonesian rules on marriage manage that a marriage is required to be one faith marriage, i.e., a man and woman to embrace the same religion, and prohibits interfaith marriage. However, in practice interfaith marriage is concluded and the couple of such marriage struggled to conduct the marriage and to have the marriage legitimized. One of the ways is to propose a designation or decree from the civil court to officially allow them to marry and to mandate the Civil Marriage Registrar to register their marriages. This article discusses the practice of interfaith marriages based on the permission from the civil courts’ judges in Surakarta. Deploying the socio-legal approach and based on interviews with some relevant persons and on the observation on a number of civil courts’ decrees, this article finds that there are interfaith marriages in Indonesia and interfaith couple struggled to get their marriages officially admitted and legalized by taking the advantage of the legal gap on the issue. This article also argues that there has been divergent legal interpretation within Indonesians which led to legal uncertainty regarding the rules of interfaith marriage in Indonesia.[Peraturan tentang perkawinan di Indonesia mengatur pernikahan satu agama. Pernikahan harus antara wanita dan laki-laki Muslim dan larangan pernikahan beda agama. Banyak praktik pernikahan melakukan ikatan beda agama. Pernikahan ini diilakukan para pasangan dengan berupaya keras dengan cara apapun untuk dapat menikah secara formal. Salah satu cara dengan memohon ijin melalui putusan Pengadilan Negeri. Pengadilan memberikan ijin pernikahan beda agama dan mandat kepada pegawai Pencatat Sipil untuk dicatatankan sebagai pernikahan. Artikel ini mengkaji praktik pernikahan beda agama melalui penetapan Pengadilan Negeri di Surakarta. Penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi hukum dengan wawancara dan analisa terhadap beberapa penetapan dalam penyusunan paper. Artikel ini membahas pernikahan beda agama yang dilakukan masyarakat Indonesia yang mengalami kesulitan dan mengupayakan secara keras cara dalam pernikahan beda agama. Argumen lain artikel ini adalah pola penafsiran hukum yang beragam dari pasal-pasal Kompilasi Hukum Islam dan Undang-Undang Perkawinan. Tafsir ini membawa pada ketidakmapanan dan ketidakpastian hukum terkait dengan ketentuan pernikahan beda agama di Indonesia.]
Tasamuh: Jurnal Studi Islam, Volume 12, pp 421-432; https://doi.org/10.47945/tasamuh.v12i2.255
Abstract:
Abstrak Law is a normative rule that govern human behaviors. The development of law as rule is not stagnant in one situation. But, its grew out from the awareness of society that requires the existence of law. Therefore, law always adopts the values that grow in society like; customary law, traditions and religions law. The consequences of laws as social and cultural products, even products of political ideology, making law is always contextual with the reality of society. This article try to understand the unification of marriage law in Indonesia and the problems that arise in the unification process. Unification is process of unify the laws in sociey or unify the national law in society. The article finds that there are many problems arising from the unification of marriage law in Indonesia, especially those related to interfaith marriages. So, it is not surprising that there are so many products of the marriage law probide the interfaith marriage in Indonesia, especially if interfaith marriage involves woman and man Muslims. Keyword: Interfaith Marriage, National Law, Islamic Law Abstrak Hukum adalah aturan-aturan normatif yang mengatur pola perilaku manusia. Hukum tidak tumbuh di ruang yang vakum, melainkan tumbuh dari kesadaran masyarakat yang membutuhkan adanya suatu aturan bersama. Karena itu, hukum selalu mengadopsi nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dimasyarakat; nilai-nilai adat, tradisi dan agama. Konsekuensi hukum sebagai produk sosial dan kultural, bahkan juga produk politik yang bernuansa ideologi, menjadikan hukum selalu bersifat kontekstual. Tulisan ini berusaha untuk mengungkap tentang unifikasi hukum perkawinan di Indonesia dan problematika yang muncul pada proses unifikasi tersebut. Unifikasi merupakan penyatuan hukum yang berlaku secara nasional atau penyatuan pemberlakuan hukum secara nasional. Penulis menemukan adanya banyak persoalan yang muncul dari unifikasi hukum perkawinan di Indonesia, khususnya yang terkait dengan perkawinan beda agama. Maka, tidak heran jika begitu banyak produk undang-undang perkawinan yang menjadi penghalang terjadinya nikah beda agama di Indonesia, khususnya jika melibatkan orang Islam. Kata Kunci: Pernikahan Beda Agama, Hukum Nasional, Hukum Islam
Arzusin, Volume 3, pp 11-27; https://doi.org/10.58578/arzusin.v3i1.822
Abstract:
This research aims to examine the perspective of Islamic law regarding interfaith marriage. The method used is qualitative, with a comparative approach. In the study of Islamic law, interfaith marriages are classified into three categories: marriages between Muslim men and polytheistic women; Muslim man's marriage to ahlulkitab woman; and the marriage of Muslim women to non-Muslim men. Regulatively, interfaith marriages in Indonesia do not have legal force, because Law Number 1 of 1974 concerning Marriage and the Compilation of Islamic Law as positive law has prohibited interfaith marriages. Therefore, the Office of Religious Affairs and the Civil Registry will not carry out administrative records of interfaith marriages.
Al'adalah, Volume 24, pp 105-117; https://doi.org/10.35719/aladalah.v24i2.77
Abstract:
Pada Juli 2021, bulan milad MUI yang ke-47, menjadi refleksi capaian peran MUI dalam masyarakat. Setidaknya, MUI memiliki dua kerja penting. Pertama, MUI sebagai pembawa aspirasi dan pelayan umat (khadim al-ummah). Kedua, MUI sebagai mitra pemerintah (shadiq al-hukumah). Dalam menjalankan keduanya, fatwa sebagai keluaran MUIsangat bermanfaat dalam perkembangan hukum Islam di Indonesia. Fatwa yang dihasilkan oleh MUI seperti fatwa tentang hukum keluarga menuju kebutuhan legislasi hukum Islam dalam tatanan sistem hukum Indonesia yang terdapat dalam Undang-undangNomor 1 Tahun 1974 pada Perkawinan. Sampai kini, tidak kurang dari 15 fatwa yang berkaitan tentang masalah keluarga seperti perkawinan campuran, prosedur pernikahan, pengucapan sighat ta'lik talak pada waktu upacara akad nikah, perkawinan beda agama, kedudukan anak hasil zina, dan lain-lain, termasuk juga rancangan undang pada Hukum Peradilan Agama; dan RUU Hukum Materiil Peradilan Agama Bidang Perkawinan. On July 2021, MUI's 47th anniversary month, is a reflection of the achievements of MUI's role in society. At least, MUI has two important tasks. First, MUI as a carrier of aspirations and a servant of the people (khadim al-ummah). Second, MUI as a partner of the government (shadiq al-hukumah). In carrying out both, the fatwa as the output of the MUI is very useful in the development of Islamic law in Indonesia. The fatwa produced by the MUI is like a fatwa on family law towards the need for Islamic law legislation in the order of the Indonesian legal system contained in Law Number 1 of 1974 on Marriage. Until now, no less than 15 fatwas related to family issues such as mixed marriages, marriage procedures, the pronunciation of sighat ta'lik talak at the time of the marriage ceremony, interfaith marriages, the position of children resulting from adultery, and others, including the draft law. On Religious Court Law; and the draft of the Material Law of the Religious Courts on Marriage.