Abstract
English Wet land conversion to non-agricultural purposes is a choice taken by farmers rationally within a circumstances where the size of land holding is squeezing over time, and where farm activities could not give adequate returns. The actual selling price of converted land is, however, not representing the real price of the land. Moreover, existing institutions could not control the land conversion effectively. A study conducted involving 90 farmers in the three villages of Karawang, West Java, suggested that the price is significantly determined by the status of land, its labor absorption, and the distance of the land from tertiary drainage and industrial/settlement areas. Other factors such as productivity of the land and condition of irrigation are not significantly affect the price. Meanwhile, government regulation on wet land control and protection tend not to be consistent or even contradict one to another. In the process of land conversion, the landowner is likely to be in a weak position. To control the land conversion, appropriate and operationally applicable policy should be implemented; such as, applying compensation of incentive or disincentive. Indonesian Alih fungsi lahan sawah ke penggunaan non-pertanian merupakan pilihan rasional yang diambil petani, di tengah makin menyempitnya rata-rata penguasaan lahan dan tidak memadainya hasil dari kegiatan usahatani di sawah dalam memenuhi kebutuhannya. Masalahnya sekarang dalam proses alih fungsi lahan tersebut, harga yang diterima petani belum sepenuhnya mencerminkan nilai sebenarnya dari lahan, sehingga kalau terus dibiarkan dikuatirkan menghambat upaya optimalisasi pemanfaatan sumber daya di suatu wilayah. Hasil kajian di beberapa desa di Kabupaten Karawang, Jawa Barat, pada 90 orang petani yang sawahnya dialih fungsikan, terlihat bahwa harga lahan yang diterima petani lebih banyak hanya mempertimbangkan faktor letak terhadap jalan utama dan status penguasaan lahan. Sementara itu kondisi irigasi dan produktivitas lahan tidak berpengaruh secara nyata terhadap harga lahan sawah, demikian juga faktor lingkungan lainnya. Sehingga menyerahkan sepenuhnya alokasi pemanfaatan lahan kepada mekanisme pasar, akan menyebabkan lahan pertanian subur semakin terancam keberadaannya. Berkaitan dengan kecenderungan alih fungsi ini, pemerintah telah mengeluarkan berbagai peraturan untuk mencegah terjadinya alih fungsi, namun karena tidak konsisten, peraturan yang ada belum sepenuhnya mampu melindungi lahan sawah. Pada masa yang akan datang perlu diterapkan kebijakan "insentif dan "disinsentif' dalam pengendalian alih fungsi lahan sawah. Disinsentif itu berupa penentuan kompensasi, di luar harga jual, terhadap pihak-pihak yang akan melakukan alih fungsi yaitu dengan memperhitungkan nilai sebenarnya dari lahan.