Abstract
The Qur’an as the first source of reference for Muslims who are always relevant in every time and place, must have an informative meaning. It can undergo meaningful transformation in line with changing times. In the time of the Prophet, the word gulūl was understood by taking war booty before it was distributed. Wherwas current context war like during the time of the Prophet is no longer happening, it is necessary to re-interpret what the meaning of gulūl along with how to contextualize the use of the word in the Qur’an especially in the QS. Ali Imrān: 161. By using the Hermeneutic approach, this specifically borrows Abdullah Saeed’s Contextual theory in understanding the meaning of gulūl in the Qur’an especially QS. Ali Imrān; 161, then an interpretation can be produced between them; first, in the initial context gulūl was a form of betrayal, like taking the spoils of war. Secondly, in the current context gulūl can be understood with broad meanings of betrayal such as being unsafe and taking things secretly even though he has the right part of the thing. This can be described as corruption both material and time. The essence of Q.S Ali Imrān: 161, it can be interpreted a leader is not possible and should not do gulūl (acts of cheating). This verse shows the existence of protection values. AbstrakAl-Qur’an sebagai sumber rujukan pertama umat muslim yang selalu relevan dalam setiap waktu dan tempat, pastilah mempunyai makna informatif dan dapat mengalami transformasi pemaknaan seiring dengan perubahan zaman. Pada zaman Nabi, kata gulūl dipahami dengan mengambil harta rampasan perang sebelum dibagikan. Sedangkan pada konteks sekarang, perang seperti pada masa Nabi sudah tidak lagi terjadi. Oleh karenanya, perlu adanya interpretasi ulang apa makna gulūl serta bagaimana kontekstualisasi penggunaan kata tersebut dalam al-Qur’an khususnya pada QS. Ali Imrān: 161. Dengan menggunakan pendekatan Hermeneutika, khususnya meminjam teori Kontekstual Abdullah Saeed dalam memahami makna gulūl dalam al-Qur’an khususnya QS. Ali Imrān ayat 161, maka dapat dihasilkan interpretasi di antaranya; pertama, dalam konteks awal gulūl merupakan bentuk pengkhianatan, seperti mengambil harta rampasan perang. Kedua, dalam konteks saat ini gulūl dapat dipahami dengan makna khianat secara luas seperti tidak amanah dan mengambil sesuatu secara sembunyi-sembunyi meskipun dia mempunyai bagian hak dari benda tersebut. Hal ini dapat digambarkan seperti korupsi secara materi maupun waktu. Adapun intisari QS. Ali Imrān: 161, dapat diartikan seorang pemimpin tidak mungkin dan tidak seharusnya melakukakan gulūl (tindak kecurangan). Ayat ini menunjukkan adanya nilai-nilai perlindungan/protectional values.Kata Kunci: Gulūl, Hermeneutika, Kontekstual, QS. Ali Imrān: 161