PLACEMAKING KAWASAN KULINER HUTAN KOTA KAOMBONA SEBAGAI SELF-HEALING MASYARAKAT PALU

Abstract
Kawasan Kuliner Hutan Kota Kaombona merupakan relokasi komunitas korban bencana alam gempa, tsunami, dan likuefaksi yang terjadi di Pantai Talise Palu pada 2018. Kawasan hutan kota yang dibangun oleh pemerintah ini, awalnya terlihat gersang dan kurang bergairah. Namun semenjak dijadikan tempat relokasi korban bencana, menjadi kawasan yang relatif lebih hidup. Aktivitas mereka mayoritas bergerak di bidang kuliner. Bagaikan gayung bersambut, aktivitas hutan yang semula didominasi oleh warga setempat untuk berolahraga pagi, menjadi hidup dan lebih ramai oleh masyarakat luas setelah dilengkapi oleh usaha kuliner korban bencana (pelaku relokasi). Pengguna hutan kota semakin ramai dan korban bencana pun semakin bergairah dalam berdagang kuliner sehingga diindikasi mampu melupakan/mengalihkan/self-healing masa lalu bencana yang telah menimpanya. Paper ini bertujuan mempublikasikan semangat indikatif tersebut melalui penelitian yang bertema placemaking dengan metode deskriptif kualitatif. Peneliti mengamati dan menstrukturkan aktivitas dan peristiwa yang dilakukan Pengguna kuliner sebagai proses self-healing berdasarkan Supportive Environment Theory (SET) yang memiliki 8 indikator. Pertama, adalah serene yang berarti ketenangan. Ketenangan ini tercipta karena tempat aktivitas kuliner berada di lokasi yang jauh dari perkotaan. Kedua adalah nature (alam). Setting relokasi memilki daya tarik alam yang eksotis dan indah sehingga memicu Pengunjung beraktivitas kuliner sambil menikmati alamnya. Ketiga adalah rich in species (keberagaman). Tempat relokasi ini memiliki keberagaman jenis flora dan alam bukit yang kaya fauna. Keempat adalah terciptanya space, yakni tempat yang menyuguhkan suasana baru dengan aktivitas yang hidup berupa kuliner. Kelima, adalah prospect. Ruang hidup ini memiliki prospek dengan vista yang menarik. Keenam adalah refuge (tempat yang aman) karena aktivitas kuliner berada di sekitar perbukitan sehingga dapat dijadikan pelarian/tempat berlindung. Ketujuh adalah bernilai sosial, yaitu tumbuhnya interaksi sosial di antara Pengguna kuliner. Terakhir adalah bernilai budaya, karena ragam kuliner yang disuguhkan menunjukkan lokalitas budaya setempat.