Abstract
Transaksi gadai tanah pertanian khusunya sawah sebenarnya sudah ada sejak lama di tengah-tengah masyarakat Indonesia utamanya masyarakat pedesaan jauh sebelum keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA). Hal ini terjadi pada umumnya sebagaian besar didasarkan pada adanya desakan ekonomi dari pemberi (penjual) gadai seperti keperluan uang untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, membiayai anak sekolah dan keperluan lainnya yang sifatnya mendesak. Transaksi gadai tanah ini hanya didasarkan atas asas saling percaya diantara para pihak, dimana antara pihak pemberi (penjual) gadai dan pihak penerima (pembeli) gadai hanya melakukan perjanjian secara lisan saja, tanpa ada bukti tertulis atau perjanjian dibawah tangan. Jangka waktu gadai didasarkan pada kesepakatan antara pihak pemberi (penjual) gadai dengan penerima (pembeli) gadai. Apabila pemberi gadai tidak mampu melakukan penebusan terhadap tanah gadai sesuai dengan kesepakatan mereka, maka tanah gadai (sawah) akan tetap berada di bawah penguasaan penerima (pembeli) gadai sampai pemberi (penjual) gadai menebusnya kembali. Sedangkan Undang-Undang No. 56 Prp Tahun 1960 Tentang Penetapan Luas Tanah Pertanian, membatasi maksimal perjanjian gadai tanah hanya dapat dilakukan selama 7 (tujuh) tahun.