Abstract
Dalam era otonomi daerah memerlukan perubahan cara pandang dalam pengelolaan sumberdaya kapital untuk sebesar-besarnya dapat diakses oleh pelaku agribisnis dan agroindustri di pedesaan. Meskipun modal merupakan faktor pelancar pembangunan pertanian, namun tanpa kehadiran modal dalam jumlah dan kualitas pelayanan yang memadai akan menjadi salah satu penghambat dalam peningkatan produktivitas nilai tambah hasil pertanian. Selama kurun waktu lebih dari sepuluh tahun terakhir alokasi kredit sektor pertanian kurang dari 10 persen dari total kredit yang disalurkan kepada sektor-sektor ekonomi. Sistem perbankan konvensional yang berjalan saat ini sangat mengabaikan sektor pertanian. Alokasi kredit yang timpang tersebut tidak semata-mata disebabkan oleh rendahnya kemampuan sektor pertanian untuk mengembalikan kredit, tetapi lebih disebabkan oleh keberpihakan yang sangat rendah pada sektor ini dan aturan main (kelembagaan) kredit yang sangat kaku, utamanya bagi petani pelaku agribisnis dan agroindustri. Akses pelaku agribisnis yang rendah pada sumber modal memerlukan kreasi lembaga keuangan yang tepat bagi sektor ini. Maraknya lembaga keuangan yang bercorak Islam (syari’ah) menjadi satu indikator akan kebangkitan ekonomi Islam. Keberadaan lembaga keuangan mikro syari’ah ini, mulai Baitul Mal wa Tamwil (BMT) yang banyak beroperasi di pedesaan sampai koperasi keuangan syariah, dan Bank syariah, hampir tersebar di berbagai penjuru daerah. Bahkan beberapa bank dan lembaga keuangan konvensional melakukan diversifikasi produk dalam bentuk syari’ah. Belum adanya lembaga keuangan yang menjangkau daerah perdesaan secara memadai yang mampu memberikan alternatif pelayanan (produk jasa) simpan-pinjam yang kompatibel dengan kondisi sosial kultural serta ‘kebutuhan’ ekonomi masyarakat desa menyebabkan konsep BMT dapat ‘dihadirkan’ di daerah perdesaan. Dalam hubungannya dengan mengatasi masalah kemiskinan, BMT memiliki kelebihan konsep pinjaman kebajikan (qardhul hasan) yang diambil dari dana sosial. Dengan adanya model pinjaman ini (Baitul Maal) tidak memiliki risiko kerugian dari kredit macet yang dialokasikan untuk masyarakat paling miskin. Sesuai dengan konsep pemberdayaan maka aktivitas sosial (non profit oriented) seperti pengorganisasian dan penguatan kelompok di tingkat komunitas (jamaah) menjadi langkah awal sebelum masuk pada aktivitas yang mendatangkan keuntungan (profit oriented) melalui model pinjaman/pembiayaan komersial (Baitut Tamwil). Dua sisi keutamaan inilah yang membuat BMT menjadi sebuah institusi yang paling cocok dalam mengatasi permasalahan kemiskinan di daerah pedesaan dan pertanian.