KETIDAKTERATURAN HUKUM PENGAKUAN DAN PERLINDUNGAN MASYARAKAT HUKUM ADAT DI INDONESIA

Abstract
Peraturan perundang-undangan terkait pengakuan dan perlindungan masyarakat hukum adat (MHA) sudah banyak dilahirkan tapi masyarakat hukum adat justru merasakan ketidakteraturan hukum. Tulisan ini membahas apa yang menyebabkan ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan MHA, bagaimana menjaga orientasi pembaruan hukum terkait MHA, dan tata pikir yang seperti apa perlu dibangun dalam rangka pengakuan dan perlindungan MHA di Indonesia. Penelitian ini menemukan bahwa ketidakteraturan dalam pengakuan dan perlindungan hukum MHA terjadi karena banyak sebab, antara lain ragam istilah dan banyaknya dimensi serta lembaga yang menangani MHA itu sendiri. Orientasi pembaruan hukum terkait MHA terlihat adanya pengajuan yudicial review terhadap UU yang tidak sejalan dengan UUD 1945. Ada empat putusan MK yang sangat penting terkait dengan keberadaan MHA, yakni Putusan MK No. 001-21-22/PUU-I/2003 dan No. 3/PUU-VIII/2010 (memperjelas tolak ukur frasa “sebesar-besar kemakmuran rakyat”), Putusan MK No. 10/PUU-I/2003 (memperjelas empat syarat MHA), Putusan MK No. 35/PUU-X/2012 (membedakan hutan adat dan hutan negara), dan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005 dan 11/PUU-V/2007 (dasar kerugian konstitusional).