Abstract
Bandar Aceh Darussalam adalah ibukota Kerajaan Aceh Darussalam sejak intitusi pemerintahan Islam ini didirikan oleh Sultan Ali Mugahayat Syah tahun 1496 Masehi. Ketika penjajah Belanda berhasil menguasainya di Tahun 1874, ibukota ini diganti dengan nama Kutaraja. Ketika Aceh menjadi bagian Indonesia, Kutaraja berganti nama menjadi Banda Aceh pada tahun 1962. Sebagai bekas ibukota kerajaan, seluruh tanah di Bandar Aceh Darussalam tentu menyimpan deposit jejak budaya yang memiliki nilai penting bagi identitas Aceh secara khusus dan Indonesia secara umum. Meskipun demikian, karena berada dalam areal inti perkotaan Kota Banda Aceh dan sekaligus Ibukota Provinsi Aceh, potensi warisan budaya budaya tersebut sedang menghadapai ancaman yang tinggi karena terganggu akibat konflik kepentingan, baik itu atas nama kepentingan penduduk maupun kepentingan pembangunan pemerintah Kota Banda Aceh, Provinsi hingga pembangunan Nasional. Terkait dengan hal itu, tulisan ini dibuat dengan tujuan mengajukan pemikiran penangan potensi konflik dengan pendekatan cultural resource management (CRM) yang dapat diterapkan para stakeholder terkait rencana pelestarian kawasan kuno Bandar Aceh Darussalam.