Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits
Journal Information

ISSN / EISSN: 19780893 / 27147916
Published by:
Raden Intan State Islamic University of Lampung
Total articles ≅ 73
Latest articles in this journal
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 269-296; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.13113
Abstract:
This study aims to explain the notion of ummatan wasathan from an Indonesian perspective. This principle is critical to comprehend and apply in the face of the ongoing challenge of radicalism and liberalism. Individuals and groups are at odds as a result of radicalism and liberalism. There must be a resolution so that the disagreement does not last for a long time; one option is to adopt the concept of ummatan wasathan, or people in the middle. This study is a library research article using a descriptive analysis approach. The essential data is in the form of wasthan terms in interpreting An-Nur, al-Azhar, and Al-Misbah. The following are the study's findings: According to An-Nur's interpretation, ummatan wasathan are the best-chosen people because they are fair, balanced, not overly religious, and do not lack in worship. Then, according to Al-Azhar's interpretation, ummatan wasathan are those who are in the middle, who do not lean towards the world or the hereafter, who always take the straight path, and who are not mainly concerned with the spiritual and forget the physical. Furthermore, Al-Misbah's interpretation explains that ummatan wasathan (middle) is just, chosen, moderate, and excellent people. They pursue the middle path and are constantly thankful for life.Keywords: Concept; Indonesian Interpretation; Ummatan Wasathan. AbstrakTulisan ini bertujuan untuk mengungkap konsep ummatan wasathan dalam perspektif tafsir Indonesia. Konsep tersebut penting untuk dipahami dan diimplementasikan di tengah gempuran radikalisme dan liberalisme yang terus mengancam. Radikalisme dan liberalisme menyebabkan munculnya konflik antar individu maupun kelompok. Perlu adanya penyelesaian agar konflik tidak berlangsung secara berkepanjangan, salah satu caranya denganmengimplementasikan konsepummatan wasathan yaitu umat yang berada ditengah-tengah. Tulisan ini merupakan penelitian kepustakaan (library research) dengan pendekatan diskriptif analisis. Data utamanya berupa term ummatan wasthan dalam tafsir An-Nur, tafsir al-Azhar dan tafsir Al-Misbah. Temuan dalam tulisan ini yaitu: Pada Tafsir An-Nur dijelaskan bahwaummatan wasathan merupakan kaum pilihan yang paling baik, bersikap adil, seimbang, tidak berlebihan dalam beragama dan juga tidak kurang dalam beribadah. Kemudian dalam Tafsir Al-Azhar disebutkan, ummatan wasathan adalah umat yang berada ditengah-tengah, tidak condong ke dunia maupun akhirat, selalu menempuh jalan yang lurus, serta bukan semata-mata mementingkan rohani sehingga melupakan jasmani. Sedangkan Tafsir Al-Misbah menjelaskan bahwa ummatan wasathan (pertengahan) merupakan umat yang adil dan pilihan, umat yang moderat dan teladan. Mereka menempuh jalan tengah dan selalu bersyukur menerima hidup.Kata Kunci: Konsep; Tafsir Indonesia; Ummatan Wasathan.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 167-188; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.12780
Abstract:
This article answers how the Maudhu'i Landscape of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia views women's leadership in Indonesia and implementation in the field. This paper aims to reveal women's leadership in Indonesia from the point of view of interpretation and its implementation in the field. This view is backed by the leadership described in the Qur'an, although in an inappropriate field. Therefore, women's leadership became the object of study in this article. In developing countries such as Indonesia, women's leadership is open but limited by the patriarchy embraced by Indonesian society. This research is descriptive research with a central study approach whose data sources are from the Qur'an, hadith books, journals in the same direction as research, and supporting books. Despite the debate about leadership according to social experts and the sciences related to it, the Qur'an has seriously expounded on leadership itself. The discourse of leadership in the Qur'an aims to find solutions and innovations from the verses to be ideas in human relationships. Leadership is the development of human resources, natural resources, and improvements in the government system so that these three associations can change existing leadership patterns. The Maudhu'i interpretation of the Ministry of Religious Affairs of the Republic of Indonesia has themes that classify women's leadership in the family, women's leadership in worship, women's leadership in society, and women's leadership in the state.Keywords: Al-Qur'an; Maudhu'i Interpretation of Qur’an; Woman leadership. AbstrakArtikel ini menjawab bagaimana Landskap Maudhu’i Kementerian Agama RI memandang kepemimpinan perempuan di Nusantara serta aplikasi dilapangan. Sehingga Tulisan ini bertujuan untuk mengungkap kepemimpinan perempuan di Nusantara dari sudut pandang tafsir dan aplikasi dilapangan. Hal ini dilatar belakangi oleh kepemimpinan yang dijelaskan dalam al-qur’an akan tetapi dilapangan tidak sesuai. sehingga kepermimpinan perempuan menjadi objek kajian artikel ini. Di negara berkembang seperti Indonesia kepemimpinan perempuan terbuka akan tetapi dibatasi oleh paham partiarki yang dianut oleh masyarakat Indonesia. Penelitian ini masuk kedalam klaster penelitian kulitatif diskriptif dengan pendekatan kajian pusataka. Terlepas dari perdebatan tentang kepemimpinan menurut pakar sosial, serta ilmu-ilmu yang berkaitan dengannya, sesunggunya al-Qur’an telah memaparkan tentang kepemimpinan itu sendiri. Diskursus kepemimpinan di dalam al-Qur’an bertujuan untuk menemukan solusi dan inovasi dari ayat-ayat al-Qur’an sehingga menjadi gagasan dalam hubungan antar manusia dengan manusia. Kepermimpinan tersebut adalah pengembangan Sumber Daya Manusia, sumber daya alam dan perbaikan dalam sistem kepemerintahan, sehingga dari tiga soslusi ini mampu merubah pola kepemimpinan yang ada. Seperti yang ada dalam Landskap Maudhu’i Kementerian Agama RI yang mengklasifikasikannya dalam Kepemimpinan Perempuan dalam Keluarga, Kepemimpinan Perempuan dalam Ibadah, Kepemimpinan Perempuan dalam Masyarakat, dan Kepemimpinan Perempuan dalam Negara.Kata Kunci:Al-Qur’an; Kepemimpinan perempuan; Tafsir Maudhu’i.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 239-254; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.11784
Abstract:
This article explores the relationship between government and society found in Q.S An-Nisa' (4): 58-59 using Qira’ah Mubādalah. Qira’ah Mubādalah is a method involving two parties that embodies the concepts of reciprocity and collaboration between the two involved parties. The steps of the study are as follows: First, determine and authenticate the Islamic teachings contained in global books that serve as the foundation for comprehension; second, identify the primary ideas contained in the texts to be analyzed; third, deduce from the second step the gender that is not indicated in the text from the text's major premise. The data source for this qualitative study is publications on the topic. According to the findings of this study, the government and society must rebuild reciprocal ties to create post-pandemic progress. This article also discusses the education and health sectors. According to the author, these two sectors are among the other two that require repair and renewal.Keywords: Covid-19; Government; Mubādalah;QS. an-Nisa: 58-59;Society. AbstrakArtikel ini mendiskusikan tentang hubungan antara pemerintah dan masyarakat yang terdapat dalam Q.S An-Nisa’ (4): 58-59 dengan menggunakan Qira’ah Mubādalah. Qira’ah Mubādalah merupakan pendekatan yang melibatkan dua belah pihak yang di dalamnya terkandung nilai-nilai kesalingan dan kerja sama antara dua belah pihak yang berkaitan. Adapun langkah-langkahnya Pertama, menentukan dan menegaskan prinsip dalam ajaran Islam yang terdapat dalam teks-teks universal yang menjadi dasar dari pemahaman. Kedua, menemukan pemikiran inti yang tersimpan dalam teks-teks yang akan dilakukan penafsiran. Ketiga, menurunkan ide pokok dari teks yang terdapat dalam langkah kedua kepada jenis kelamin yang tidak disebutkan dalam teks. Penelitian ini berjenis penelitian kualitatif yang sumber datanya berasal dari artikel-artikel yang terkait dengan tema ini. Adapun hasil dari penelitian ini bahwa pemerintah dan masyarakat seyogyanya membangun kembali hubungan yang resiprokal sehingga dapat menciptakan kemajuan pasca pandemi. Artikel ini pula menyoroti dua sektor, yakni: pendidikan dan kesehatan. Yang kedua sektor ini menurut penulis salah dua dari sektor lain yang harus diperbaiki dan diperbaharui.Kata kunci: Covid-19; Masyarakat; Mubādalah, Pemerintah; QS. an-nisa: 58-59.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 317-340; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.13857
Abstract:
This research seeks to uncover the origins of sanad qirā’āt Syekh ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī, which he used in Tafsir Turjumān al-Mustafīd. Abd Raūf al-Sinkilī did not mention any qirā’āt allusions in Tafsir Turjumān al-Mustafīd. This finding demonstrates that al-Sinkilī obtained qirā’āt through talaqqi or musyāfahah directly from his masters rather than through commentary books. The research is qualitative and employs library research methods as well as historical methodologies. A descriptive analysis is used to describe the data. The findings of this investigation showed that the genealogy of sanad qirā’āt owned by ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī was obtained from his master named Ibrāhim al- Kuranī and proceeded to Imam Zakariā al-Anshārī, Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalānī, and Imam Jalāl al-Dīn al-Mahallī.Keywords: Al-Sinkili; Sanad Qiraat; Turjumān al-Mustafīd. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengungkap silsilah sanad qirā’āt Syekh ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī yang digunakannya dalam Tafsir Turjumān al-Mustafīd. Dimana Abd Raūf al-Sinkilī tidak menyebutkan satupun rujukan qirā’āt yang digunakan dalam Tafsir Turjumān al-Mustafīd. Ini menunjukkan bahwa al-Sinkilī mendapatkan qirā’āt melalui talaqqi atau musyāfahah langsung dari guru-gurunya, bukan merujuk dari kitab-kitab tafsir. Jenis penelitian dalam artikel ini adalah kualitatif dengan menggunakan metode library research dan pendekatan historical approach. Adapun data diuraikan secara deskriptif analisis. Hasil penelitian ini menyimpulkan bahwa silsilah sanad qirā’āt yang dimiliki ‘Abd al-Ra’ūf al-Sinkilī didapat melalui gurunya Ibrāhim al- Kuranī dan bersambung kepada Imam Zakariā al-Anshārī lalu Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalānī dan Imam Jalāl al-Dīn al-Mahallī.Kata Kunci: Al-Sinkili; Sanad Qira’at; Turjumān al-Mustafīd.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 255-268; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.12886
Abstract:
This paper examines takhrij al-hadith on the hadith that discusses the tarekat. Researchers are attempting to trace the Prophet's hadiths about tarekat in the book Al-Mukhtasor Fi Ulumiddin by Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani, focusing on library research (library research). Then, to assess the quality of these hadiths, this study investigates the transmission path (sanad) of each of these hadiths in the primary books. According to the findings of this study, hadiths about tarekat have varying attributes; some are legitimate, hasan, and daif, but all of these hadiths can be utilized as evidence because they are fadhail al a'mal. According to the hadith, Amaliah Tarekat was highly approved by the Prophet because the editorial's purpose was to awaken the spirit of worship.Keywords: Hadith; Quality;Tarekat. AbstrakTulisan ini melakukan kajian takhrij al-hadis terhadap hadits yang menerangkan tentang tarekat. Dengan fokus pada studi pustaka (library reaserch), peneliti berusaha melacak hadits-hadits Nabi tentang tarekat dalam kitab al-mukhtasor fi ulumiddin karya Sheikh Abdul Qadir Al-Jailani qsa. Kemudian untuk menganalisa kualitas hadits tersebut, tulisan ini secara khusus mengkaji jalur periwayatan (sanad) setiap hadits tersebut dalam kitab-kitab induk. Hasil penelitian ini didapatkan temuan bahwa hadis-hadis tentang tarekat mempunyai kualitas yang variative, ada yang berstatus sahih, hasan dan daif, namun semua hadits tersebut dapat dijadikan hujjah, sebab bersifat fadhail al a’mal. Adapun pemahaman dari hadis tersebut adalah amaliah tarekat sangat dianjurkan Nabi karena redaksinya adalah membangkitkan semangat beribadah.Kata Kunci: Hadits; Kualitas; Tarekat.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 189-218; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.12777
Abstract:
Interfaith marriage remains a controversial topic forbidden under the MUI (Indonesian Ulema Council) fatwa. However, Hamka claimed in Tafsir al-Azhar that marriage between Muslim men and women from the people of the Bible is permitted. This claim raises the question of whether the law regarding interreligious marriage in the Compilation of Islamic Law is consistent with the Indonesian insight interpretation. This study aims to determine the relationship between interfaith marriage law in the Compilation of Islamic Law and the Indonesian insight interpretation of verses related to interfaith marriages. The research approach employed is qualitative content analysis employing a literature study to conclude that, first, the position of the Compilation of Islamic Law in the hierarchy of Indonesian laws and regulations is poor from a legal standpoint. Second, the rule prohibiting the marriage of women from the people of the Bible must be reconsidered because the existing reasons and local interpretations all state that it is permissible.Keywords: Indonesian insight interpretation; Interfaith marriage; The Compilation of Islamic Law.AbstrakPernikahan beda agama merupakan hal yang masih tabu, fatwa MUI pun melarangnya.Namun menariknya Hamka dalam Tafsir al-Azharnya menyatakan bahwa pernikahan laki-laki muslim dengan wanita ahlulkitab itu diperbolehkan. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah hukum pernikahan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam berkesesuaian dengan penafsiran tafsir nusantara? Tujuan penelitian ini untuk mengetahui bagaimana korelasi hukum pernikahan beda agama dalam Kompilasi Hukum Islam dengan penafsiran tafsir-tafsir Nusantara terhadap ayat-ayat yang berkaitan dengan pernikahan beda agama. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif yang bersifat analisis konten dengan menggunakan kajian pustaka menyimpulkan bahwa, Pertama: kedudukan Kompilasi Hukum Islam dalam hierarki peraturan perundang-undangan Indonesia lemah secara hukum. Kedua: hukum menikahi perempuan ahlulkitab perlu dikaji kembali pelarangannya dikarenakan dalil-dalil yang ada beserta tafsir-tafsir Nusantara semua menyatakan boleh.Kata Kunci: Kompilasi Hukum Islam; Pernikahan Beda Agama; Tafsir Nusantara.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 219-238; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.11745
Abstract:
Understanding the figurative meaning of majaz al-Qur'an in the context of ulum al-Qur'an entails some effort. The author will explore allusions from the majaz in terms of meaning and wisdom. The position of majaz al-Qur'an differs from that of the discourse on proverbs, which deals with concrete examples. Therefore, this study explains how the position of majaz influences the cognitive development of its readers from the perspective of educational psychology. Furthermore, this study also explores the educational value of majaz al-Qur'an. The author employs a qualitative approach with descriptive analysis to address the concern mentioned above. The findings of this study lead to features of the formation of thought in terms of educational psychology in general and the complete meaning of educational values in particular.Keywords: Education; Majaz Al-Qur'an; Psychology; Thinking.AbstrakPembahasan majaz al-Qur’an dalam studi ulum al-Qur’an membutuhkan usaha yang keras dalam memahami makna kiasannya. Kiasan-kiasan dari majaz tersebut akan penulis telusuri makna serta hikmahnya. Posisinya majaz al-Qur’an berbeda dengan diskursus Amsal yang membahas secara kongkrit tentang permisalan. Selanjutnya, untuk mengungkap hal tersebut maka tulisan ini akan memaparkan bagaimana posisi majaz mampu membentuk konstruksi berfikir pembacanya melalui perspektif psikologi pendidikan lalu bagaimana nilai pendidikan yang terkandung dalam majaz al-Qur’an. Kemudian, untuk menjawab kegelisahan diatas maka penulis menggunakan metode kualitatif dengan deksriptif-analisis. Hasil penelitian ini selanjutnya mengarah pada aspek-aspek pembentukan berfikir yang ditinjau dari disiplin psikologi pendidikan secara umum dan secara spesifik terkandung di dalamnya makna yang penuh dengan nilai-nilai pendidikan. Kata Kunci:Berfikir;Majaz Al-Qur’an; Pendidikan; Psikologi.
Published: 31 December 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 297-316; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i2.13898
Abstract:
This research seeks to interpret the verses that show the attitude anthropomorphism towards God. Because Jews are the most fiercely opposed to Islam and have a great hostility toward Islam, this study tries to understand the verses that reflect the attitude of Jewish anthropomorphism towards God. The library research method was combined with the Maudhu'i methodology in this study. The author employs content-analysis techniques to get a valid conclusion based on the object of study. As a result of this research, Jews believe Allah is a God who is stingy and parsimonious since Allah's hands are bound. We can conclude from this study that when we come across verses like this, we should not interpret them the way Jews do. We must communicate its latent meaning through diverse interpretation methods so its explicit meaning does not stick to usKeywords: Anthropomorphism; Attitude;Yahudi. AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk meinterpretasikan ayat-ayat yang menunjukkan sikap antropomorfisme Yahudi terhadap Allah. Sebab Yahudi adalah yang paling keras menentang Islam dan kental permusuhannya dengan Islam. Penelitian ini menggunakan metode library research dengan pendekatan maudhu’i. Penulis menggunakan teknik content-analys untuk dapat menarik suatu kesimpulan yang valid berdasarkan objek kajian. Hasil dari penelitian ini ialah kalangan Yahudi berasumsi bahwa Allah adalah Tuhan yang kikir, pelit, sebab tangan Allah telah terbelenggu. Dari penelitian ini dapat kita simpulkan bahwa tatkala kita bertemu dengan ayat-ayat seperti ini, sebaiknya kita tidak memahaminya sebagaimana kalangan Yahudi memahami. Kita harus mengungkapkan makna implisitnya dengan berbagai metode tafsir, sehingga kita tidak terjebak kedalam makna eksplisitnya.Kata Kunci:Antropomorfisme; Sikap; Yahudi.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 105-126; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.9908
Abstract:
This paper will try to see how the contribution of Imam Malik with his book al-Muwattha' to the development of hadith, and how the orientalist criticism of the book. In other words, how do orientalists criticize al-Muwattha' as the first generation of books in the writing of hadith. The research conducted in this study is a literature study using the book of al-Muwattha' Imam Malik as the primary source. The result of this research is Goldziher said that al-Muwattha' is more appropriately called a law book than a hadith book. Schact said: there is not a single authentic hadith contained in the book al-Muwattha', so that criticism has implications for doubting the authentic hadith as the word of the Prophet, and the Prophet there is not a single authentic hadith from the Prophet. AbstrakTulisan ini akan mencoba melihat bagaimana kontribusi Imam Malik dengan kitabnya al-Muwattha’ terhadap perkembangan hadis, dan bagaimana kritik orientalis terhadap kitab itu. Dengan kata lain, bagaimana orientalis mengkritik al-Muwattha’ sebagai kitab generasi pertama dalam penulisan hadis.Penelitian yang dilakukan dalam studi ini adalah studi literatur dengan menggunakan kitab al-Muwattha’ Imam Malik sebagai sumber primer. Hasil dari penelitian ini ialah Goldziher mengatakan bahwa al-Muwattha’ lebih tepat disebut kitab hukum daripada disebut kitab hadis. Schact mengatakan: tidak ada satupun hadis yang shahih yang terdapat dalam kitab al-Muwattha’, sehingga dari kritik itu berimplikasi pada keraguan terhadap hadis yang otentik sebagai sabda Nabi, dan Nabi tidak ada satu pun hadis yang otentik dari Nabi.Kata Kunci: Critics; Hadith Literature; Orientalists; Kitab al-Muwattha’.
Published: 22 June 2022
Al-Dzikra: Jurnal Studi Ilmu Al-Qur'an Dan Al-Hadits, Volume 16, pp 127-148; https://doi.org/10.24042/al-dzikra.v16i1.10311
Abstract:
This paper describes the fundamental response to the existence of the mutasyabihat verse listed in the letter Al-Imran: 7. The research method in this paper is based on library research. The results of this study reveal that the mutasyabih verse in the Qur'an contains the possibility of two or more meanings. This information invites two counterproductive argumentative responses which later become the character of thinking and moving. The first is a character called zaigun (leaning to misguidance) who seeks to seek takwil and/or intentionally causes slander. And the second is Rasikhun (who studies knowledge). AbstrakTulisan ini memaparkan tentang respon fundamental atas keberadaan ayat mutasyabihat yang tercantum dalam surat Al-Imran: 7. Metode penelitian dalam tulisan ini berbasis pada kajian pustaka (library research). Hasil dari penelitian ini mengungkapkan ayat mutasyabih di dalam al-Qur’an, mengandung kemungkinan dua makna atau lebih. Informasi ini mengundang dua respon argumentatif kontraproduktif yang kemudian menjadi karakter berfikir dan bergerak. Pertama karakter yang disebut zaigun (condong kepada kesesatan) yang berupaya mencari-cari takwil dan atau sengaja menimbulkan fitnah. Dan kedua adalah rasikhun (yang mendalami ilmu).Kata Kunci: Fundamentalisme; Mutasyabih; Rasikhun; Respon Argumentatif; Zaighun.