Manuskripta
Journal Information
ISSN / EISSN
:
2252-5343 / 2355-7605
Published by: Masyarakat Pernaskahan Nusantara
(10.33656)
Total articles ≅ 67
Archived in
SHERPA/ROMEO
Filter:
Latest articles in this journal
Manuskripta, Volume 12, pp 147-165; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v12i1.204
Abstract:
Burning dupa (incense) is a Javanese tradition that has existed for a long time. When Islam came, it turned out that this tradition was still carried out by some people, including santri in Pesantren (the students in Islamic boarding schools). This is evidenced by the discovery of a Javanese manuscript in the Pegon script written by Ḥaḍrat al-Shaykh Muhammad Hasyim Asy'ari (1871-1947), founder of Nahdlatul Ulama (NU) and Pesantren Tebuireng. He did not even forbid the tradition of burning dupa. In fact, the traditional ulama leader of his time condemned it as sunnah. As is known, the sunnah is the perpetrator will be rewarded and the one who does not be punished. This paper will discuss of burning dupa in the perspective of philology, history, and also Islamic law or fiqh which is based on a text written in 1353 H (1934). --- Membakar dupa merupakan tradisi masyarakat Jawa yang ada sejak lama. Ketika Islam datang, ternyata tradisi ini masih dijalankan oleh sebagian orang, termasuk para santri di pondok pesantren. Hal ini terbukti dengan ditemukannya naskah berbahasa Jawa aksara pegon yang ditulis oleh Ḥaḍrat al-Shaykh Muhammad Hasyim Asy’ari (1871-1947), pendiri Nahdlatul Ulama (NU) dan Pesantren Tebuireng. Bahkan ia tidak mengharamkan tradisi membakar dupa itu. Justru, pemimpin ulama tradisional pada zamannya itu menghukuminya sunnah. Sebagaimana diketahui, sunnah adalah jika dikerjakan mendapat pahala dan jika ditinggalkan tidak apa-apa. Makalah ini akan membahas membakar dupa dalam perspektif filologi, sejarah, dan juga hukum Islam atau fiqh yang bersumber pada naskah yang ditulis pada 1353 H (1934).
Manuskripta, Volume 12, pp 37-69; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v12i1.188
Abstract:
Bali adalah salah satu dari beberapa wilayah di Nusantara yang belum dapat dikuasai pemerintah kolonial Belanda hingga akhir abad ke-19. Faktor internal berupa perebutan kekuasaan antarkerajaan menjadikan wilayah Bali cukup sibuk dengan peperangan dari waktu ke waktu. Tidak terkecuali dengan Kerajaan Badung. Semakin majunya kegiatan perekonomian di Badung membuat pemerintah kolonial Belanda merasa khawatir akan posisinya yang dapat diambil alih kekuatan Eropa lainnya. Berbagai pendekatan berupa perjanjian-perjanjian terus dilakukan untuk dapat menempatkan Kerajaan Badung di bawah kuasa pemerintah kolonial Belanda seutuhnya. Penelitian ini membahas salah satu perjanjian tersebut, yaitu perjanjian yang tercantum dalam naskah Surat Perjanjian ML. 487. Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan hubungan Kerajaan Badung dengan pemerintah kolonial Belanda dan upaya penghapusan hak tawan karang di Kerajaan Badung oleh pemerintah kolonial Belanda. Untuk mencapai tujuan tersebut, penelitian dilakukan dengan metode penelitian filologi, yaitu pemilihan naskah, transliterasi, kemudian penelusuran latar belakang sejarah untuk membahas isi teks naskah. Hasil penelitian menunjukkan bentuk-bentuk pengaturan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial Belanda terhadap Kerajaan Badung, yaitu pembatasan hubungan dengan bangsa Eropa lainnya, pembongkaran benteng, pengiriman bantuan perang, dan pengembalian orang jahat kepada pemerintah kolonial Belanda. Upaya pengapusan hak tawan karang kemudian menjadi senjata utama pemerintah kolonial Belanda dalam menaklukkan Kerajaan Badung seutuhnya.
Manuskripta, Volume 12, pp 1-35; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v12i1.196
Abstract:
Data collection on the variety of street performing arts is important as a marker of the diversity of cultural arts as well as showing the diversity of the people who interacted at that time. This paper shows a record of data written and illustrated in the manuscript of the National Library's collection coded KBG 940. The data represents at least two periods, namely the period before the manuscript was written in 1929 (although some of it might not anymore existed) and the time when the manuscript was written (although some of it might not anymore existed when the manuscript is read and studied currently). Based on the list, descriptions, and illustrations depicted, the data reflects the plurality of the socio-cultural life of the community moving dynamically as a representation of the cultural intersection of the community. Javanese, Chinese, Indian, Arabic, and Betawi in Yogyakarta. --- Pendataan mengenai ragam seni pertunjukan jalanan menjadi hal yang penting sebagai penanda keberagaman seni budaya sekaligus menunjukkan kemajemukan masyarakat yang berinteraksi pada masa tersebut. Tulisan ini menunjukkan sebuah catatan dan pendataan seni pertunjukan yang terekam dalam naskah koleksi Perpustakaan Nasional berkode KBG 940. Variasi seni pertunjukan yang berhasil didata setidaknya merepresentasikan dua masa, yaitu masa sebelum naskah ditulis tahun 1929 (meskipun sebagian telah hilang saat naskah ditulis) dan masa saat naskah ditulis (meskipun bisa jadi sebagian telah hilang saat naskah dibaca dan dikaji di masa sekarang). Dilihat dari daftar, keterangan, serta ilustrasi yang digambarkan, data yang ditampilkan menjadi cerminan kemajemukan kehidupan sosial budaya masyarakat bergerak dengan dinamis sebagai representasi persinggungan budaya dari komunitas Jawa, Cina, India, Arab, dan Betawi yang ada di Yogyakarta.
Manuskripta, Volume 12, pp 71-94; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v12i1.202
Abstract:
This article is written as a result of the study of meaning of Sundanese manuscript of a folklore titled Wawacan Ogin Amar Sakti. The study was conducted based on story’s settings and structural approach. The purpose of this study was to reveal the contribution of story’s meanings towards humanity’s environmental quality. This study utilized descriptive comparative methods, while the data collection used documentation study. The findings are in the form of interpretations concluded based on the results of data analysis results found in the text as well as its comparison with data found in other relevant sources. Based on the data analysis results, it can be concluded that the story setting elements found in Ogin Amar Sakti script is environmental/ecosystem transmission or inheritance vehicles; those are (1) to not to cut down, pollute, or turn dense forests as covert for evil deeds, (2) to look after and maintenance mountains and forests as they embody various resources, (3) to not turn forests into hunting ground for animals, and (4) to arrange settlements as delightful and pleasing place. These messages are in line with other texts and symbols such as folklore and gunungan, as well as become concrete foundation for environmental preservation and food security strategy. --- Tulisan ini merupakan hasil kajian makna atas cerita naskah berbahasa Sunda “Ogin Amar Sakti.” Kajian dilakukan atas unsur latar cerita (setting), dengan menggunakan pendekatan struktural. Pengkajian dilakukan dengan tujuan untuk mengungkap kontribusi makna cerita bagi kualitas lingkungan hidup manusia. Metode yang digunakan ialah metode deskriptif komparatif. Teknik pengumpulan datanya ialah teknik studi dokumentasi. Temuan-temuan berupa tafsiran disimpulkan berdasarkan hasil analisis data yang terdapat dalam teks serta melalui perbandingannya dengan data yang terdapat dalam sumber lain yang relevan. Berdasarkan hasil analisis data bisa disimpulkan bahwa unsur latar cerita naskah Ogin Amar Sakti merupakan wahana transmisi atau pewarisan lingkungan hidup (ekosistem), yaitu (1) hutan lebat jangan ditebangi, dikotori, dijadikan tempat menyembunyikan perbuatan jahat, (2) awasi dan pelihara gunung-gunung dan hutan karena mengandung aneka kekayaan, (3) hutan jangan dijadikan lahan perburuan satwa, dan (4) lakukan penataan pemukiman menjadi tempat yang menyenangkan dan membahagiakan. Amanat mengenai pelestarian hutan tersebut sejalan dengan teks dan simbol lain, di antaranya cerita rakyat dan gunungan, serta menjadi landasan konkret bagi peletarian lingkungan hidup dan strategi ketahanan pangan.
Manuskripta, Volume 12, pp 95-145; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v12i1.203
Abstract:
The aim of this study is to explain characteristics of illumination in Betawi manuscript and reveal every culture that shows in it. The data used in this research is Betawi manuscript in Cohen Stuart’s collection (CS). This study uses documentation and literature review method to collect the data. Beside that, this research uses codicology method to analyze the characteristics of illumination in six Betawi manuscripts. The result of data analysis showed that there are three characteristics in Betawi manuscript’s illumination, which are (1) simplicity, (2) the illuminations are formed from a combination of floral and geometric patterns, and (3) the illuminations are made with certain colors, namely red, blue, yellow, and black. Those characteristics show several cultures that are stored in it, that are Betawi, Chinese, Arabic, and Indian cultures. It shows that, at that time, Chinese, Arabs, and Indians had contact with Betawinese. In addition, it also explains Betawinese’s egalitarian nature so that they can accept acculturation that happened in their culture. --- Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan karakteristik iluminasi naskah Betawi koleksi Cohen Stuart (CS) dan khazanah budaya yang terdapat di dalamnya. Pengumpulan data dilakukan dengan metode dokumentasi dan studi pustaka. Penelitian dilakukan dengan metode kodikologi untuk membahas karakteristik iluminasi di dalam enam naskah Betawi koleksi CS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat tiga karakteristik yang terlihat dalam iluminasi-iluminasi tersebut, yaitu (1) bentuk iluminasi yang sederhana, (2) iluminasi dibentuk dari perpaduan motif floral dan motif geometris, dan (3) iluminasi dibuat dengan warna-warna tertentu, yakni merah, biru, kuning, dan hitam. Karakteristik-karakteristik tersebut mengungkap adanya beberapa khazanah budaya yang tersimpan di dalam iluminasi naskah-naskah Betawi koleksi CS, yaitu budaya Betawi, Cina, Arab, dan India. Hal tersebut menunjukkan bahwa bangsa Cina, Arab, dan India memiliki kontak dengan masyarakat Betawi pada masa itu. Selain itu, hal tersebut juga menjelaskan sifat egaliter yang dimiliki masyarakat Betawi sehingga dapat menerima terjadinya akulturasi di dalam budayanya.
Manuskripta, Volume 11; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v11i2.191
Abstract:
Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ is one of the lyric poetry texts contained in the lontar manuscript coded CP.25 LT-223 which is stored in the manuscript collection of the University of Indonesia. The manuscript was written in 1799 AD in Lombok using a Balinese script. This study aims to reveal the form of literary yoga and the relationship of religious expression in Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ with other Old Javanese and Balinese literary works. This research is qualitative research using a reception approach. To prepare the object of research, a philological work step was used to extract the Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ text from the manuscript. The single-text method was used because only one witness manuscript is known to contain this text. The text Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ shows the wandering of the poet in an attempt to do literary yoga (yoga-aesthetic). In addition, there is also the concept of worship in the form of cai librarians as a metaphorical expression of the poet to worship (manembah) God. This Kakawin also contains an overview of religious concepts related to the love of men and women. In addition, this text is also related to efforts to achieve the union of man with God. ---Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ merupakan salah satu teks puisi lirik yang terdapat dalam naskah lontar berkode CP.25 LT-223 yang disimpan dalam koleksi naskah Universitas Indonesia. Naskah tersebut ditulis pada tahun 1799 Masehi di Lombok dengan menggunakan aksara Bali. Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap bentuk yoga sastra dan kaitan espresi religius dalam KakawinLambaᶇ Pralambaᶇ dengan karya sastra Jawa Kuna dan Bali lainnya. Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan menggunakan pendekatan resepsi. Untuk mempersiapkan objek penelitian digunakan Langkah kerja filologi untuk mengekstrak teks Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ dari naskah. Metode naskah tunggal digunakan sebab hanya ada satu naskah saksi yang diketahui mengandung teks ini. Dalam teks Kakawin Lambaᶇ Pralambaᶇ memperlihatkan pengelanaan pujangga dalam usaha melakukan yoga sastra (yoga-estetis). Selain itu terdapat pula konsep pemujaan dalam bentuk caṇḍi pustaka sebagai suatu ekspresi metaforis sang pujangga untuk menyembah (manembah) Tuhan. Kakawin ini juga memuat gambaran konsep religius terkait percintaan laki-laki dan perempuan. Selain itu, teks ini juga terkait dengan upaya untuk mencapai penyatuan manusia dengan Tuhan.
Manuskripta, Volume 11; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v11i2.194
Abstract:
The political rifts and tensions after the 2014 elections cannot just disappear, they even penetrate to the grassroots and are increasingly felt to be able to shake the Indonesian nationality. Political rifts and tensions spread to social aspects and cause discomfort for people who want to live in peace. In fact, during the 76 years of Indonesia which was formed by the fathers of the Indonesian nation, it has proven its determination in building Indonesian unity. Therefore, we must study and reflect on how Indonesia builds its nationality through one of the texts entitled the Simbur Light Law. The text describes the strength of building identity, applying local wisdom values in strengthening customs, and teaching democratic ways of life. The purpose of this research is to explore and find out how identity is built and the national values that become the local wisdom of the Palembang people are held. The method used is a qualitative approach with analysis and interpretation of the text. From the results of the study, it was found that the people of Palembang have a strong and high sense of nationality. This sense of nationality is evidenced by a strong strong identity supported by firmness in holding on to customs, and building a high sense of solidarity with a democratic system that is adhered to together. The values that become local wisdom are also applied in their social behavior. In conclusion, the text of the Undang-Undang Simbur Cahaya can be a reference for national life. --- Keretakan dan ketegangan politik setelah pemilu 2014 tidak dapat hilang begitu saja bahkan menyerap ke akar rumput dan semakin dirasa dapat menggoyah kebangsaan Indonesia. Keretakan dan ketegangan politik merambat ke aspek sosial dan menimbulkan rasa tidak nyaman bagi masyarakat yang ingin hidup damai. Padahal selama 76 tahun keindonesiaa yang dibentuk oleh para bapak bangsa Indonesia telah membuktikan keteguhanannya dalam membangun persatuan Indonesia. Oleh sebab itu, kita harus belajar dan merefleksi cara Indonesia membangun kebangsaan melalui salah satu naskah yang berjudul Undang-Undang Simbur Cahaya. Dalam naskah itu digambarkan kuatnya membangun identitas, menerapkan nilai-nilai kearifan lokal dalam memperkuat adat, dan pengajaran cara hidup berdemokrasi. Tujuan penelitian ini menelusuri dan menemukan bagaimana identitas dibangun dan nilai-nilai kebangsaan yang menjadi kearifan lokal masyarakat Palembang dipegang. Metode yang digunakan adalah pendekatan kualitatif dengan analisis dan interpretasi teks tersebut Dari hasil penelitian ditemukan bahwa masyarakat Palembang memiliki rasa kebangsaan kuat dan tinggi. Rasa kebangsaan itu dibuktikan dengan kuatnya identitas yang kuat didukung oleh keteguhan memegang adat, dan membangun rasa solidaritas yang tinggi dengan sistem demokrasi yang dipatuhi bersama. Nilai-nilai yang menjadi kearifan lokal juga diterapkan dalam perilaku sosialnya. Kesimpulannya naskah Undang-Undang Simbur Cahaya dapat menjadi rujukan untuk kehidupan berkebangsaan.
Manuskripta, Volume 11; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v11i2.190
Abstract:
One of the messages conveyed through Javanese literary works is a guide to religious life. These guidelines can be translated through the holy book on every religious community that has ever been embraced by the Javanese people. This study uses two Javanese scripts and is written using Javanese script (Javanese script), namely Kuran Jawi and Kitab Kuran. This type of research is a qualitative descriptive research, namely the resulting data is described using sentences. Methods of data collection by means of literature study. The results showed that the Javanese language used in the two manuscripts was New Javanese. The Javanese language used is not only one level of speech, but there are various Javanese ngoko, madya, krama, and krama inggil languages. To find out the variation of the Javanese translation in Surah Al-Fātiḥah in the Kuran Jawi and the Kuran manuscripts is to compare the literal translations. the characteristics of variations in Javanese translation, namely in word formation, include reduplication and affixation. In addition, variations in the use of the lexicon can be caused by the level of speech and the form of sentences translated from Arabic. --- Salah satu pesan yang disampaikan melalui karya sastra berbahasa Jawa adalah pedoman hidup beragama. Pedoman tersebut dapat diterjemahkan melalui kitab suci pada setiap umat beragama yang pernah dianut oleh masyarakat Jawa. Penelitian ini menggunakan dua naskah berbahasa Jawa dan ditulis dengan menggunakan aksara Jawa (carakan Jawa) yakni Kuran Jawi dan Kitab Kuran. Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yakni data yang dihasilkan dideskripsikan dengan menggunakan kalimat-kalimat. Metode pengumpulan data dengan cara studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa bahasa Jawa yang digunakan dalam kedua naskah adalah bahasa Jawa Baru. Bahasa Jawa yang digunakan bukan hanya satu tingkat tutur saja, melainkan terdapat ragam bahasa Jawa ngoko, madya, krama, dan krama inggil. Untuk mengetahui adanya variasi terjemahan bahasa Jawa dalam Surah Al-Fātiḥah pada naskah Kuran Jawi dan Kitab Kuran adalah membandingkan terjemahan secara harfiah. karakteristik variasi terjemahan bahasa Jawa yakni dalam pembentukan kata meliputi reduplikasi dan afiksasi. Selain itu variasi penggunaan leksikon dapat disebabkan karena tingkat tutur maupun bentuk kalimat yang diterjemahkan dari bahasa Arab
Manuskripta, Volume 11; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v11i2.189
Abstract:
Selaparang merupakan nama dari sebuah kerajaan Islam terbesar di Lombok yang didirikan oleh Prabu Rangkesari abad ke-16 M di wilayah timur pulau Lombok. Kerajaan ini telah menjadi penguasa di Lombok kurang lebih dua setengah abad, diperkirakan kerajaan ini berakhir pada abad ke-18. Selama menjadi penguasa di Lombok, kerajaan ini telah berhasil menjadi sebuah kerajaan besar dan berwibawa baik di kalangan Sasak maupun di masyarakat internasional. Artikel ini akan mengungkap sejarah pertumbuhan dan perkembangan kerajaan Selaparang dan keterlibatan Selaparang dalam perdagangan, karena itu tulisan ini akan menggunakan pendekatan sejarah. Namun karena data-data yang digunakan berupa manuskrip dan data-data arkeologis, maka dalam menganalisis data, dua disiplin ilmu menjadi ilmu bantu dalam artikel ini, yaitu filologi dan arkeologi.
Manuskripta, Volume 11; https://doi.org/10.33656/manuskripta.v11i2.193
Abstract:
The paper aims to see the contestation and struggle for discourse on sexuality and the female body in Cherita Pandawa Lima. This research is literature research that uses critical discourse analysis as an approach in analyzing literary texts. Critical discourse analysis is used to dismantle the presumptions and ideologies of patriarchal power that are stored in androcentric literary discourses. The data that will be identified and classified are aspects related to women's bodies and sexuality which are exploited and maintained through patriarchal culture. These data will be analyzed using a feminist literary criticism approach to dismantle the patriarchal ideology that is hidden behind the text and reconstruct it within the framework of feminism. By using Cheritera Pandawa Lima edited by Khalid Hussain as the main data, this study shows that the female characters in Cheritera Pandawa Lima are the main axis in the storyline, and even become one of the main myths that drive the occurrence of the masculine Bharatayuddha war. Based on this, female figures try to get out of the patriarchal cultural norms and social constructs that develop in society, by seizing the discourse of patriarchal hegemony through sexuality and body sovereignty. Thus the female characters in this story try to align themselves with the ranks of the men. --- Tulisan ini bertujuan untuk melihat kontestasi dan perebutan wacana terhadap seksualitas dan tubuh perempuan dalam Cherita Pandawa Lima. Penelitian ini merupakan penelitian kepustakaan yang menggunakan analisis wacana kritis sebagai pendekatan dalam menganalisa teks sastra. Analisis wacana kritis digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan patriarki yang tersimpan dalam wacana-wacana sastra yang androsentris. Adapun data yang akan diidentifikasi dan diklasifikasikan adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan tubuh dan seksualitas perempuan yang dieksploitasi dan dipertahankan melalui budaya patriarkhi. Data-data tersebut akan dianalisa dengan pendekatan kritik sastra feminis untuk membongkar ideologi patriarkhis yang tersimpan di balik teks, serta merekontruksinya dalam kerangka pikir feminisme. Dengan menggunakan Cheritera Pandawa Lima yang disunting oleh Khalid Hussain sebagai data utama, maka penelitian ini menunjukkan bahwa tokoh-tokoh perempuan dalam Cheritera Pandawa Lima menjadi poros utama dalam jalan cerita, bahkan menjadi salah satu mitos utama yang mengendarai terjadinya perang Bharatayuddha yang maskulin. Berdasarkan hal tersebut tokoh-tokoh perempuan berusaha mencoba keluar dari norma-norma budaya patriarki dan konstruk sosial yang berkembang di tengah masyarakat, dengan cara merebut wacana hegemoni patriarki melalui seksualitas dan kedaulatan tubuhnya. Dengan demikian tokoh-tokoh perempuan dalam cerita ini berusaha menyejajarkan diri dengan barisan para laki-laki.