Refine Search

New Search

Results: 7

(searched for: Perbedaan Individu Peserta Didik Sekolah Dasar)
Save to Scifeed
Page of 1
Articles per Page
by
Show export options
  Select all
Spatial: Jurnal Wahana Komunikasi Dan Informasi Geografi, Volume 18, pp 84-94; https://doi.org/10.21009/spatial.182.02

Abstract:
Mental map sebagai gambaran tentang suatu wilayah dan lingkungannya, yang dikembangkan oleh individu atas dasar pengalaman sehari-hari dari berbagai sumber, antara lain dapat diperoleh melalui pembelajaran di sekolah dari guru dan media. Alat ukur keakuratan mental map seseorang terhadap suatu wilayah adalah mengkonfirmasi atau menerjemahkan dalam peta kartografis. Namun bersama peta kartografis, spektrum mental map peserta didik dapat dikembangkan tidak hanya berupa pengetahuan dan persepsi tentang lokasi geografis dari suatu obyek di permukaan bumi, peserta didik juga dapat melihat hubungan antar fenomena di permukaan bumi, pola, persamaan dan perbedaan hingga interdependensi suatu tempat dengan menerapkan prinsip dan pendekatan geografi. Mental map yang baik dan berkembang akan berguna bagi peserta didik dalam membuat keputusan untuk kepentingan pribadi hingga memberikan solusi kepada masyarakat. Guru berperan mendesain pembelajaran yang dimulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi yang mengembangkan mental map. Setiap pokok bahasan geografi pada mata pelajaran geografi dijelaskan dengan sudut pandang geografi dalam skala lokal, regional dan global. Setiap pokok bahasan geografi di sekolah juga harus menerapkan prinsip maupun pendekatan geografi untuk memaksimalkan mental map peserta didik terhadap lingkungan tempat tinggalnya, negaranya dan internasional sesuai tujuan pembelajaran geografi di sekolah.
Rosidah Rosidah
Published: 30 June 2018
Journal: Qawwam
Qawwam, Volume 12, pp 1-17; https://doi.org/10.20414/qawwam.v12i1.748

Abstract:
Motivasi merupakan suatu dorongan atau alasan yang menjadi dasar semangat seseorang untuk melakukan sesuatu, sedangkan strategi pembelajaran merupakan alat untuk mencapai suatu tujuan tertentu dalam kegiatan belajar mengajar. Berbicara mengenai strategi pembelajaran dalam lingkup sekolah dasar sebagaimana kita ketahui selama ini bahwa pembelajaran hanyaberpusat pada guru (teachercentered) yaitu guru yang lebih agresif dan aktif dalam proses pembelajaran yang berorientasi pada target penguasaan materi dan pengembangan intelektual siswa dengan penekanan pengembangan aspek kognitif. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar masalah peserta didik tidak antusias dalam mengikuti proses pembelajaran di kelas, sehingga guru dituntut untuk menerapkan strategi pembelajaran sesuai dengan materi secaraaktif dan menyenangkan untuk menumbuhkan motivasi belajar anak. Dalam hal ini, salah satu alternative strategi pembelajaran yang bisa diaplikasikan oleh guru di sekolah dasar yakni learning by doing. Learning by doingini merupakan belajar yang dilakukan secara langsung (belajar dengan melakukan), sehingga materi ajar yang disampaikan guru akan lebih melekat dalam diri peserta didik. Bentuk pengajaran dalam konteks learning by doing yakni: 1) menumbuhkan motivasi belajar anak. 2) mengajak anak didik beraktivitas. 3) mengajar dengan memperhatikan perbedaan individual. 4) mengajar dengan umpan balik. 5) mengajar dengan pengalihan. 6) penyusunan pemahaman yang logis dan psikologis.
Alan Sigit Fibrianto, Ananda Dwitha Yuniar, Deny Wahyu Apriadi
Jurnal Praksis dan Dedikasi Sosial (JPDS), Volume 5, pp 54-60; https://doi.org/10.17977/um032v5i2p54-60

Abstract:
Inclusiveness has recently become an exciting topic of study to be discussed. Each local government seeks to design and implement inclusion policies. Discussions about inclusion always link people with disabilities. People with disabilities are discriminated against in their social environment, both in terms of their accessibility to public facilities as well as the negative labels attached to them. Therefore, this inclusive character is essential to be built in the next generation of the nation as early as possible. This research aims to instill an inclusive character early on for students at SD Laboratorium UM by using participatory methods or being directly involved in creating an inclusive learning process. The learning process is very significant in shaping the behavior patterns and character of children. Thus, inclusive education implemented in elementary schools (SD) can form an inclusive character for individuals from an early age. Several factors underlie inclusive education implemented at the elementary level, including: (1) at the individual development stage, SD is a very good level in the process of character building; (2) elementary school age is the most active stage in getting to know the social environment; (3) stage in understanding the role; (4) the experiences and insights they gain will be constructed through strong memories. These four factors underlie the formation of their personality into an inclusive character.Inklusifitas akhir-akhir ini menjadi topik kajian yang menarik untuk dibahas. Setiap pemerintah daerah berupaya merancang dan mengimplementasikan kebijakan inklusi. Pembahasan mengenai inklusi selalu mengaitkan penyandang difabel. Para difabel terdiskriminasi dari lingkungan sosialnya, baik aksesibilitasnya terhadap sarana publik, maupun label negatif yang melekat pada mereka. Maka dari itu, karakter inklusif ini sangat penting untuk dibangun pada generasi penerus bangsa sedini mungkin. Penelitian ini bertujuan untuk menanamkan karakter inklusif sejak dini bagi siswa di SD Laboratorium UM dengan menggunakan metode partisipatoris atau terlibat langsung dalam menciptakan proses pembelajaran yang inklusif. Proses pembelajaran sangat signifikan dalam membentuk pola perilaku dan karakter anak. Sehingga, pendidikan inklusif yang diimplementasikan pada Sekolah Dasar (SD) mampu membentuk karakter inklusif bagi individu sejak dini. Ada beberapa faktor yang mendasari pendidikan inklusi diimplementasikan di tingkat SD antara lain: (1) pada tahap perkembangan individu, SD merupakan jenjang yang sangat baik dalam proses pembentukkan karakter; (2) usia jenjang SD adalah tahapan paling aktif dalam mengenal lingkungan sosialnya; (3) tahap dalam memahami peran; (4) pengalaman dan wawasan yang mereka peroleh akan terkonstruk melalui ingatan yang kuat. Keempat faktor itulah yang mendasari pembentukkan kepribadian mereka menjadi karakter yang inklusif.
Siti Aminah Mursalin, Julhidayat Muhsam
Jurnal Pendidikan Dasar Flobamorata, Volume 2, pp 103-110; https://doi.org/10.51494/jpdf.v2i1.413

Abstract:
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh model pembelajaran team assisted individualization terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari motivasi belajar siswa Kelas IV SD Inpres Cowang Terang. Sampel dalam penelitian ini berjumlah 42 orang yang dipilih dengan menggunakan teknik random sampling. Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen semu dengan desain nonequivalent post test only control group design. Data hasil belajar dikumpulkan dengan menggunakan metode tes dengan instrumen tes pilihan ganda. Data motivasi belajar siswa dikumpulkan dengan metode non tes yakni kuesioner. Data hasil belajar yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan ANAVA dua jalur. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran team assisted individualization dan siswa yang dibelajarkan dengan model pembelajaran konvensional, yang ditunjukkan oleh FA hitung = 8,22 > F tabel = 4,10. (2) terdapat perbedaan hasil belajar IPA antara siswa yang memiliki motivasi belajar tinggi dan siswa yang memiliki motivasi belajar rendah, yang ditunjukkan oleh FB hitung = 4,36 > F tabel = 4,10. (3) terdapat pengaruh interaksi model pembelajaran yang diterapkan dengan motivasi belajar terhadap hasil belajar IPA, yang ditunjukkan oleh FAB hitung = 38,17 > F tabel = 4,10. Berdasarkan hasil penelitian, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran TAI berpengaruh secara signifikan terhadap hasil belajar IPA ditinjau dari motivasi belajar siswa sekolah dasar.
Kadek Ayu Widia Fransiska, Anak Agung Gede Agung, Ida Bagus Gede Surya Abadi
Jurnal Imiah Pendidikan dan Pembelajaran, Volume 6, pp 577-587; https://doi.org/10.23887/jipp.v6i3.56248

Abstract:
Salah satu dampak dari transisi pembelajaran daring ke luring pasca pandemi COVID-19 mengakibatkan siswa cenderung kurang percaya diri dan timbul sikap individualistik. Adanya permasalahan tersebut mendorong penelitian ini untuk menganalisis kompetensi pengetahuan IPA dalam model pembelajaran Team Assisted Individualization berbantuan media Crossword Puzzle pada siswa sekolah dasar. Jenis penelitian yang digunakan penelitan eksperimen semu (quasi eksperimen) dengan rancangan non-equivalent control group design. Populasi penelitian ini 429 siswa, penentuan sampel menggunakan teknik cluster random sampling. Metode pengumpulan data penelitian ini adalah instrumen berupa tes. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan teknik analisis statistik deskriptif dan inferensial. Pengujian hipotesis pada penelitian ini menggunakan analisis statistik inferensial teknik uji-t polled varians. Hasil analisis data diperoleh THitung sebesar 4,945 dan nilai Ttabel sebesar 2,000 pada taraf signifikan 5%. Nilai ini menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang signifikan dari kompetensi pengetahuan IPA antara siswa yang diberi perlakuan dengan siswa yang tidak diberikan perlakuan. Dapat disimpulkan model pembelajaran Team Asissted Individualization berbantuan media Crossword Puzzle berdampak positif yang signifikan dalam meningkatkan kompetensi pengatahuan IPA pada siswa sekolah dasar. Kedepannya perlu dikembangkan secara berkelanjutan model pembelajaran yang inovatif dan sesuai dengan situasi dan karakteristik peserta didik terhadap peningkatan kompetensi pengetahuan IPA pada siswa sekolah dasar.
R.R. Mardiana Yulianti, Imam Syatoto, Suroto Suroto, Endang Suprapti, Risza Putri Elburdah
Published: 23 July 2020
Jurnal Pengabdian Dharma Laksana, Volume 3, pp 62-68; https://doi.org/10.32493/j.pdl.v3i1.6283

Abstract:
Game online merupakan sebuah gaya hidup baru bagi beberapa orang disetiap kalangan umurnya. Sekarang ini banyak kita jumpai warung internet (warnet) dikota ataupun di desa-desa dan mereka memfasilitasi akan adanya game online tersebut. Komputer (PC) yang mempunyai spesifikasi untuk game bukanlah komputer yang biasa dan sering kita pakai, harga komputer tersebut lebih mahal dari pada komputer biasa. Terlebih lagi koneksi internet untuk sebuah game online juga harus memadai. Jika kita lihat dari modal untuk sebuah “Game Center” yaitu tempat bermain khusus game online cukup besar, Realita pada masyarakat kita dikota maupun didesa game center sangat mudah kita jumpai dan keberadaannya menjadi candu bagi beberapa orang.Dalam perspektif sosiologi orang yang menjadikan game online sebagai candu, cenderung akan menjadi egosentris dan mengedepankan individualis. Hal ini berbahaya bagi kehidupan sosial individu tersebut, mereka dengan sendirinya menjauh dari lingkungan sekitar dan dimungkinkan akan memarjinalkan diri sehingga beranggapan bahwa kehidupanya adalah di dunia maya dan lingkungannya sosialnya hanya pada dimana tempat dia bermain game tersebut. Banyak diantara mereka dari golongan pelajar sekolah dasar sampai jenjang perguruan tinggi, baik dari status dan golongan ekonomi menengah keatas sampai menengah kebawah. Problematika motivasi belajar pada peserta didik sekarang ini semakin kompleks termasuk candu game online yang berkembang pada dinamika masyarakat kita khususnya Indonesia. Asumsi yang ada motivasi belajar dapat dilihat dengan prestasi dan perspektif kognitif dari peserta didik, baik pelajar sekolah dasar atau mahasiswa perguruan tinggi.Status yang ada tidak banyak menimbulkan perbedaan akan motivasi belajar hal ini menjadi sebuah kecenderungan bahwa kesadaran akan motivasi belajar tidak hanya dilihat dari aspek umur dan status tetapi juga dilihat dari gaya hidup masing masing individu. Paradigma dalam sebuah perkembangan tekhnologi adalah untuk membantu dan menstimulus motivasi belajar baik aspek kognitif maupun psikomotor para peserta didik di era modernisasi sekarang. Tetapi faktanya perkembangan tekhnologi dan adanya game online membuat arus balik sehingga mayoritas para pecandu game online menurunkan motivasi belajar mereka. Termasuk siswa MTS Matlaul Anwar Pamulang. Kata Kunci: Game Online, Minat Belajar, Siswa
Adewiyatun Rahma Hrp
Published: 13 September 2019
Abstract:
Pembelajaran tematik merupakan salah satu model dalam pembelajaran terpadu yang merupakan suatu sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa, baik secara individu maupun kelompok, aktif menggali dan menemukan konsep serta prinsip-prinsip keilmuan secara holistik, bermakna, dan autentik. Pembelajaran tematik adalah suatu model pembelajaran yang memadukan beberapa materi pembelajaran dari berbagai standar kompetensi dan kompetensi dasar dari satu atau beberapa mata pelajaran. Penerapan pembelajaran ini dapat dilakukan melalui tiga pendekatan yakni: penentuan berdasarkan keterkaitan standar kompetensi dan kompetensi dasar, tema, dan masalah yang dihadapi. Pembelajaran tematik merupakan pembelajaran yang mengintegrasikan beberapa mata pelajaran kedalam sebuah tema, pembelajaran tematik di sekolah dasar menekankan keaktifan siswa pada pembelajaran, sehingga dengan keterlibatan siswa secara aktif maka hasil belajar yang diperoleh akan lebih baik dan pembelajaran akan lebih bermakna. Menurut Permendikbud No.57 tahun 2014 tentang kurikulum SD,disebutkan bahwa tujuan dari pembelajaran tematik adalah menghilangkan atau mengurangi terjadinya tumpah tindih materi, memudahkan peserta didik untuk melihat hubungan-hubungan yang bermakna, memudahkan peserta didik untuk memahami materi/konsep secara utuh sehingga penguasaan konsep akan semakin baik dan meningkat, sedangkan ruang lingkup pembelajaran tematik meliputi semua KD dari semua mata pelajaran kecuali agama. Pembelajaran tematik siswa membutuhkan kemampuan dalam memahami konsep-konsep materi pembelajaran antar bidang studi, baik secara lisan maupun secara tulisan, disebutkan dalam tujuan pembelajaran tematik untuk menghindari tumpang tindihnya suatu meteri pembelajaran maka diterapkannya sistem tema. Ketika proses pembelajaran berlangsung, siswa kurang mengerti tentang pembelajaran yang disampaikan oleh guru, sedangkan guru memiliki kesulitan menjelaskan subtema yang yang akan disampaikan, hal ini terlihat ketika evaluasi siswa mengalami kesulitan dalam mengerjakanya. Merujuk dari permaslahan tersebut, sebelum mengajarkan pembelajaran tematik, maka guru MI/SD perlu mempertimbagkan teori belajar mana yang cocok diterapkan pada pembelajaran tematik MI/SD. Sehingga saat pembelajara tematik berlangsung pendidik tau teori mana yang cocok diterapkan dalam ruangan tersebut, dikarenakan setiap anak ataupun peruangan pasti memiliki perbedaan dalam menangkap apa yang disampaikan oleh pendidik.
Page of 1
Articles per Page
by
Show export options
  Select all
Back to Top Top