Abstract
Pola aktivitas dan penggunaan ruang dipengaruhi oleh banyak faktor, termasuk ekonomi, sosial, budaya, atau sejarah. Daerah pedesaan yang umumnya didominasi oleh daerah tertinggal menjadi korban eksploitasi manusia dalam hal pemanfaatan ruang, termasuk wilayah pesisir. Oleh karena itu, pemanfaatan dan pengembangan wilayah pesisir dan masyarakat yang tinggal di kawasan tersebut membutuhkan pendekatan yang tepat. Dikotomi ruang perlu dipahami sebagai aspek pengembangan wilayah pesisir itu sendiri. Makalah ini bertujuan untuk menilai pola pemanfaatan ruang, dikotomi antara aspek tradisional dan modern dalam pemanfaatan ruang, serta kemungkinan strategi dan kebijakan pengembangan pemerintah wilayah pesisir di Kabupaten Gunungkidul. Metode ini merupakan kombinasi dari metode kuantitatif yang dilaksanakan dengan meninjau peta dan analisis data sekunder untuk melihat tren perkembangan dalam periode tertentu, sedangkan metode kualitatif dilakukan untuk memperkuat hipotesis dan untuk memahami analisis lebih lanjut dari pendekatan kuantitatif.Dikotomi ruang dijabarkan dalam konteks spasial dan pemanfaatan. Konteks spasial dibagi menjadi wilayah inti (ibukota kecamatan) dan pinggiran (wilayah pesisir), sedangkan dalam konteks pemanfaatan ruang, dibedakan menjadi penggunaan tradisional dan modern. Analisis dikotomi melalui penggambaran kuadran memberikan gambaran tentang potensi pembangunan daerah, ruang lingkup pembangunan tidak hanya sebagian tetapi juga secara spasial. Pengembangan Jaringan Jalan Nasional Jawa Selatan (JJLS) dan pengembangan sektor pariwisata adalah dua faktor utama dalam pembangunan daerah, sehingga kebijakan publik sebagai implementasi dari intervensi pemerintah setidaknya harus mempertimbangkan sektor spesifik yang akan ditangani, prioritas pembangunan seperti skala dan pendekatan, dan tingkat perkembangan.Kata kunci: dikotomi; tradisional; modern; Gunungkidul; wilayah pesisir