Abstract
ABSTRAK Dewasa ini transaksi perdagangan tidak hanya dilakukan secara konvensional, dimana penjual dan pembeli saling bertatap langsung disuatu tempat usaha untuk melakukan transaksi perdagangan, melainkan telah berlalih ke transaksi dunia maya (cyber space) dimana transaksi perdagangan yang dilakukan memalui jejaring sosial, komputer, handphone, dll yang menggunakan koneksi internet tanpa harus penjual dan pembeli bertatap langsung. Dengan adanya sebuah transaksi maka muncul pengenaan pajak. Dalam hal pengenaan pajak, transaksi perdagangan online dapat dikenakan pajak penghasilan karena jika berdasar syarat Subjektif (Pengusaha) dan syarat Objektif (Penghasilan) dalam pengenaan pajak penghasilan, pengusaha dalam perdagangan online (e-commerce) telah memenuhi syarat untuk dikenakan pajak penghasilan. Pada awal Tahun 2019 Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mengeluarkan peraturan tentang kebijakan pembayaran pajak bagi para pelaku e-commerce di Indonesia, termasuk pembuat konten di media sosial dan youtuber. Kebijakan itu tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik. Namun Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati, menarik Peraturan Menteri Keuangan (PMK) 210 tentang perlakuan perpajakan atas transaksi perdagangan melalui sistem elektronik (e-commerce), yang harusnya mulai berlaku 1 April 2019. Itu artinya aturan ini batal untuk diterapkan. Namun sebelum adanya Peraturan Menteri Keuangan tersebut sudah ada pengaturan hukum tentang pajak ecommerce yakni Undang-Undang No.36 Tahun 2008 dan Peraturan perpajakan terkait ecommerce sudah ditegaskan kembali dalam SE-62/PJ/2013 tentang Penegasan Ketentuan Perpajakan atas Transaksi ecommerce dan SE-06/PJ/2015 tentang Pemotongan dan atau Pemungutan Pajak Penghasilan atas Transaksi ecommerce. Sehingga penjual di marketplace tetap berkewajiban untuk membayar pajak. Kata Kunci: Pajak , Perdagangan Online