Abstract
Bertolak dari pergumulan yang seolah tarik menarik bagi diri Gereja, oleh karena ia sadari bahwa di satu sisi bangsa ini diperhadapkan pada pergumulan yang masih belum terselesaikan, sebagaimana cita-cita para founding fathers yang tertuang dalam Mukadimah UUD 1945, yakni mewujudkan rakyat yang cerdas, sejahtera, bangsa yang berdaulat sehingga berperan dalam mewujudkan perdamaian dunia. Cita-cita tersebut menjadi konteks nasional, yakni masalah besar bangsa ini, yang sekaligus menjadi medan kehadiran Gereja. Di pihak lain, Gereja bergumul dan merasa dirinya terpisah dari bangsa ini, merasa bukan bagian dari dunia ini. Barangkali pikiran ini muncul karena merasa banyak penolakan terhadap dirinya, sehingga enggan, atau paling tidak membatasi dirinya bergaul dengan masyarakat. Tentunya bisa juga dimaklumi, penolakan terhadap kekristenan tak lepas dari sejarah. Tetapi kira-kira bisa jadi penolakan ini hanya di sebagian dari luasnya bentangan wilayah negara kesatuan Republik Indonesia, dan bisa jadi juga merupakan prasangka. Rasa tarik-menarik tadi adalah kesadaran akan lingkungan atau medan sekitar Gereja yang perlu mendapat perhatian dari karya Gereja. Gereja memang dipandang liyan (asing), bukan dari dunia, tetapi ia menjadi warga dunia itu. Gereja sadari bahwa ia harus hadir bagi dunia, meski di lain pihak condong lebih memerhatikan pergumulan dirinya. Teks Yeremia 29:7, menjadi acuan teologis untuk membangun dan menggugah spiritualitas Gereja menjadi karya iman yang konkrit bagi lingkungannya. Karya iman Gereja bagi lingkungan sesungguhnya turut mengatasi pergumulan bangsa, yang tak terpungkiri dengan sendirinya memberi dampak bagi kelangsungan kehadiran Gereja.