Sketsa Pelayanan Gereja Sebelum, Selama, dan Sesudah Masa Pandemi COVID-19

Abstract
Masa pandemi COVID-19 dapat diibaratkan sebagai “cermin” yang menunjukkan keaslian atau realita wajah pelayanan gereja. Sebelum masa pandemi, telah ada observasi yang muncul dari berbagai literatur, penelitian, dan beragam pengalaman dalam konteks pelayanan yang menunjukkan adanya keterpisahan antara teologi yang Alkitabiah dan praksis pelayanan kejemaatan serta adanya pengabaian terhadap hal-hal yang primer dalam pelayanan. Kedua observasi ini seolah-olah dibuktikan kebenarannya dalam masa pandemi. Melalui tiga penelitian tentang pelayanan gerejawi yang dilakukan di Indonesia selama masa pandemi, yaitu rangkaian penelitian dari Bilangan Research Center, Survei Nasional dan Rembuk Nasional dari Sekolah Tinggi Teologi SAAT, Malang, serta rangkaian penelitian dari Pusat Studi Pertumbuhan Gereja Sekolah Tinggi Teologi Amanat Agung, Jakarta, didapati bahwa gereja masih memiliki konsep teodisi yang tidak utuh atau proporsional, pelayanan gereja masih sangat bergantung kepada peran rohaniwan sebagai tenaga profesional dan terpusat secara sempit kepada aspek ibadah, ada kesenjangan yang serius antara generasi senior dan generasi muda, serta pelayanan gereja belum siap untuk berhadapan dengan teknologi. Merespons realita tersebut, artikel ini mengusulkan agar gereja melakukan penataan ulang pelayanan pascapandemi dalam enam hal, yaitu: membangun visi teologis yang bisa diejawantahkan dengan jelas dan utuh dalam pelayanan, menjadikan ibadah sebagai sentral tetapi bukan sebagai satu-satunya pelayanan yang penting, menggencarkan pembinaan dan pemuridan berbasis keluarga, memperkuat pelayanan pastoral yang menekankan relasi personal yang mendalam, memperhatikan pelayanan kepada generasi muda atau penerus, serta mengutamakan kapasitas pengutusan daripada kapasitas menampung orang di dalam gereja semata-mata. The COVID-19 pandemic can be likened to a “mirror” that shows the authenticity of church ministries’ real face. Before the pandemic, there had been observations emerging from various kinds of literature, research, and various experiences in the ministry context that showed a separation between biblical theology and the ministry’s praxis and the neglect of the primary things in the ministry. These two observations seem to be proven to be true during the pandemic. In three studies on church services conducted in Indonesia during the pandemic, namely a series of researches from Bilangan Research Center, National Survey and National Dialogue from South East Asia Bible Seminary, Malang, as well as a series of researches from the Center for the Church Growth Studies of Amanat Agung Theological School, Jakarta, it was found that the church still has a disproportionate concept of theodicy. The church services are still very dependent on the clergy’s role as professionals and narrowly centered merely on the worship ministry. There is also a serious gap between the older and the younger generation, and church services are not yet ready to deal with technology. Responding to this reality, the writers propose that the church needs to refocus its post-pandemic ministry in six ways, namely: building a theological vision that can be embodied in the ministry, making worship ministry a central but not as a center in ministry, developing family-based discipleship, strengthening pastoral ministry that emphasizes deep personal relationships, paying attention to ministering the next generation, and prioritize the sending capacity rather than solely the seating capacity.

This publication has 2 references indexed in Scilit: