Abstract
Wakaf merupakan salah satu bagian dari sedekah, yang dalam hadis diberi sifat dengan lafal “jariyyah” setelah lafal “sadaqah”, dan oleh ulama dianggap sedekah yang paling utama. Wakaf diundangkan melalui al-Qur’an dan al-Hadith, dan dipraktekkan sejak zaman nabi Muhammad saw. sampai sekarang. Bahkan, di Indonesia, sejak tahun 2004 telah ada undang-undang tentang wakaf yang menyempurnakan peraturan-peraturan sebelumnya. Pada umumnya, masyarakat Islam beranggapan bahwa wakaf itu bersifat muabbad (berlaku selamanya), tidak muaqqat (dibatasi waktunya), sehingga jika wakif telah mengucapkan ikrar wakaf, maka benda yang diwakafkan itu lepas dari miliknya, tidak dapat ditarik kembali. Hal ini didasarkan, bahwa mereka bermazhab Shafi’i, sebagaimana kitab-kitab dan buku-buku mereka yang dibaca dan dipahami, sehingga jika ada pendapat lain, mereka menolaknya, padahal wakaf itu merupakan masalah ijtihad. Pasal 1 ayat 1 Undang-undang Nomor 41 Tahun 2004 Tentang Wakaf menjelaskan bahwa wakaf itu ada yang muabbad dan muaqqat, berbeda dengan peraturan sebelumnya, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 Tentang Perwakafan Tanah Milik dan Kompilasi Hukum Islam, dengan cara menggabungkan beberapa mazhab fiqh, Malikiyyah, Hanafiyyah, Shafi’iyyah, dan Malikiyyah dengan cara talfiq. Pemberlakuan wakaf muaqqat sesuai dengan ulama Malikiyyah yang menyatakan bahwa benda wakaf tidak lepas dari kepemilikan wakif dan Hanafiyyah, yang berpendapat bahwa wakaf itu seperti akad ‘ariyah (pinjaman), yang sewaktu-waktu dapat ditarik kembali. Sedangkan, dari sisi maslahah, wakaf muaqqat, yang merupakan bagian dari Pasal 1 ayat 1 UU No. 41 Tahun 2004 termasuk dalam maslahah hajiyyah (sekunder), yang bersifat menyempurnakan maslahah daruriyyah (primer) terkait dengan memelihara keturunan (muhafazah ‘ala naslal-nasab), sehingga terhindar dari kefakiran keluarga wakif.