Abstract
ABSTRAK  Purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk.) merupakan tanaman obat asli Indonesia yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Tanaman spesifik di dataran tinggi Dieng (ketinggian ≥2.000 m dpl) ini tergolong langka karena umumnya tidak dibudidayakan. Pengembangan tanaman di daerah yang mempunyai kondisi lingkungan yang hampir sama dengan habitat asli seperti di Gunung Putri, Cipanas (1.450 m dpl) merupakan salah satu usaha untuk mencegah tanaman dari kepunahan. Keterbatasan bahan tanaman bermutu dan penerapan teknologi budidaya yang belum optimal menjadi kendala dalam pengembangan tanaman purwoceng. Benih purwoceng yang baru dipanen pada saat masak fisiologis (7 – 8 minggu setelah antesis) mempunyai daya berkecambah sangat rendah (afterripening. Peningkatan viabilitas potensial (daya berkecambah) dapat dilakukan dengan perendaman benih dalam larutan GA3 400 ppm selama 48 jam, pemanasan pada suhu 50˚C selama 48 jam, dan perendaman dengan KNO3 0,2% selama 24 jam. Produksi simplisia purwoceng lebih tinggi di lingkungan tumbuh asli (Dieng) dibandingkan dengan di Gunung Putri yaitu masing-masing seberat 154 kg dan 58,75 g per 10 tanaman pada umur 9 bulan setelah tanam (BST). Peningkatan produksi dan kandungan bahan aktif dapat dilakukan dengan pemberian pupuk lengkap yaitu 40 ton pupuk kandang ditambah 400 kg Urea, 200 kg SP36 dan 300 kg KCl, pupuk organik, mikoriza dan zat pengatur tumbuh. Analisis usahatani purwoceng menunjukkan bahwa dengan luasan lahan 1.000 m2 sangat fisibel dan menguntungkan. Penerapan teknologi budidaya sederhana untuk luasan 1.000 m2 menghasilkan pendapatan bersih sebesar Rp. 34.000.000.  ABSTRACT Pruatjan (Pimpinella pruatjan Molk.) is one of the indigenous medicinal crops from Indonesia. The plant which is endemic in Dieng plateau (2000 m above sea level/asl), has not been cultivated properly, hence its existence is endangered. The plant development at Gunung Putri, Cipanas (1500 m asl), which is resemble to its native habitat, is one of the efforts to prevent plant extinction. The main constraints of pruatjan cultivation are the limited qualified plant material and improper cultivation technology. Pruatjan seeds newly harvested at physiological maturity (7- 8 weeks after anthesis) have very low germination percentage (afterripening dormancy. The potential viability (germination rate) can be improved by soaking the seeds in 400 ppm GA3 solution for 48 hours, heating at 50˚C for 48 hours, and soaking in 0,2% KNO3solution for 24 hours. The yield of pruatjan at 9 months after planting (MAP) was higher in its native habitat (Dieng) (154 kg per 10 plants) than at Gunung Putri (58,75 g per 10 plants). The yield and the content of its active ingredient can be increased by applying 40 tons manure combined with400 kg Urea, 200 kg SP36, 300 kg KCl, organic fertilizers, mycorhiza and plant growth regulators. The analysis farming system of pruatjan at 1.000 m2 indicated high feasibility and profitable. The application of simple cultivation technologies at the areal of 1.000 m2gave net income Rp. 34.000.000.