Surga Itu Tak Beratap

Abstract
Diskriminasi yang dialami oleh teman-teman non-heteronormatif, termasuk di dalam gereja-gereja dan masjid-masjid dalam hal beribadah, sampai hari ini masih terus terjadi. Seiring dengan hal itu, di Indonesia khususnya, gerakan-gerakan yang memperjuangkan kesetaraan mulai memiliki perhatian baru yakni tentang iman dan seksualitas. Kehadiran gelombang yang baru ini menunjukkan adanya kerinduan dalam diri teman-teman non-heteronormatif untuk tetap mempertahankan iman mereka kepada Allah di dalam pergumulan terkait seksualitas dan gender. Penolakan yang mereka terima, yang kerap dilandaskan pada nilai-nilai agama, tidak lantas membuat kerinduan mereka untuk mempertahankan relasi dengan Tuhan memudar. Nyatanya, mereka tetap berjuang merengkuh Allah melalui ruang-ruang spiritual di luar tembok-tembok rumah ibadah, dan menolak percaya ketika ada suara-suara yang mengatakan bahwa mereka adalah kaum yang “dilaknat” oleh Allah. Iman mereka bukan hanya menjadi bukti kerinduan mereka untuk beribadah, namun sekaligus juga bukti kerinduan Allah yang senantiasa ingin merangkul ciptaan ke dalam persekutuan dengan-Nya. Di balik perjuangan melintasi batasan-batasan berupa doktrin patriarkal dan penafsiran yang diskriminatif, terdapat spiritualitas yang merasakan kehadiran Allah dan keterlibatan-Nya dalam kehidupan ciptaan. Tulisan ini mencoba memperhatikan gagasan-gagasan yang terdapat dalam spiritualitas kaum non-heteronormatif dan kaum Beguine yang menjadi penggerak emansipasi awal, serta membangun refleksi yang merepresentasi spiritualitas mereka. Dengan tulisan ini, diharapkan perjuangan untuk menghentikan diskriminasi atas dasar agama yang dialami teman-teman non-heteronormatif dapat dilihat sebagai wujud kerinduan untuk selalu berada dalam persekutuan dengan Allah sekaligus juga manifestasi cinta Allah Trinitas yang selalu bergerak untuk merangkul ciptaan.