Abstract
Berdasarkan Pasal 1 angka 2, Pasal 7 ayat (1) dan Pasal 8 ayat (1) UU 12/2011, fatwa MUI bukan peraturan perundang-undangan, karena tidak dibuat oleh badan/atau lembaga yang berwenang dan tidak memiliki kekuatan mengikat umum. Namun, fatwa MUI merupakan sumber hukum materiil. Untuk menjadi hukum positif, maka fatwa MUI harus dipositivisasi oleh negara melalui peraturan perundang-undangan. Sebagai sumber hukum materiil, Fatwa MUI dapat dijadikan sebagai rujukan pembentukan peraturan perundang-undangan, bahkan menjadi rujukan wajib. Pasal 26 ayat (3) UU 21/2008 mewajibkan Peraturan Bank Indonesia menuangkan fatwa MUI tentang prinsip syariah, Pasal 25 UU 19/2008 mewajibkan Menteri Keuangan untuk meminta fatwa MUI sebagai dasar penerbitan SBSN, dan Pasal II angka 1 huruf a UU 1/2011 menjadikan fatwa MUI sebagai dasar atau acuan bagi penyelenggaraan kontrak derivatif syariah. Dengan demikian, fatwa MUI seolah-olah mengikat dalam hal dikeluarkan berdasarkan perintah dari peraturan perundang-undangan.