Abstract
This study aims to determine the law enforcement of trading in influence in practices and urgency of trading in influence regulation as a community development tool. The method in this study uses a normative juridical method with descriptive analytical specifications. This research is different from previous research where an assessment was carried out in the urgency of trading in influence regulation which is connected with the theory of community development. In practice, to ensnare perpetrators of corruption by trading their influence often uses the provisions of the criminal act of bribery, this is because there is a legal vacuum in Indonesia's positive law. When described and reflected in regulations in other countries, trading in influence has a different element from bribery. To overcome the culture of influence trading which is a criminal act of corruption, a means of community development is needed to change the culture of corruption itself. The results of the study reveal that by looking at the law enforcement of Trading in Influence in practice, the public prosecutor often charges a defendant by using Article 11 of Law No. 20 of 2001 concerning Eradication of Corruption in conjunction with Article 55 paragraph (1) in conjunction with Article 64 paragraph (1), whereas it can be said that not all of the elements of the article are fulfilled for the act of Trading In Influence when compared with the regulations stipulated in Article 18 UNCAC. Due to the vacuum of law, law enforcers are not effective in carrying out their duties. In order for law enforcement to run optimally and on target, it is important to formulate trading in influence arrangements. For the formulation of Trading in Influence, it is necessary to change and reform the law aimed at community development so that legal objectives can be achieved.Keywords: development; public; trading in influenceAbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mengetahui penegakan hukum trading in influence dalam praktik dan urgensi pengaturan trading in influence sebagai sarana pembangunan masyarakat. Metode dalam penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif analitis. Penelitian ini berbeda dengan penelitian terdahulu dimana dilakukan pengkajian dalam urgensi pengaturan trading in influence yang dihubungkan dengan teori pembangunan masyarakat. Dalam praktiknya untuk menjerat pelaku korupsi dengan memperdagangkan pengaruh yang dimilikinya seringkali menggunakan ketentuan tindak pidana suap, hal ini dikarenakan adanya kekosongan norma dalam hukum positif Indonesia. Apabila diuraikan dan bercermin pada pengaturan pada Negara lain, perdagangan pengaruh yang dikenal dengan trading in influence memiliki unsur yang berbeda dengan suap. Untuk mengatasi budaya perdagangan pengaruh yang merupakan tindak pidana korupsi diperlukan suatu sarana dalam pembangunan masyarakat untuk mengubah budaya korupsi itu sendiri. Hasil penelitian mengungkapkan dengan melihat penegakan hukum trading in influence dalam praktik, seringkali penuntut umum mendakwakan seorang terdakwa dengan menggunakan Pasal 11 UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) juncto Pasal 64 ayat (1), padahal dapat dikatakan tidak seluruh unsur pasal tersebut terpenuhi untuk perbuatan trading in influence apabila dibandingkan dengan pengaturan yang diatur dalam Pasal 18 UNCAC. Oleh karena adanya kekosongan norma, penegak hukum menjadi tidak efektif dalam menjalankan tugasnya. Agar penegakan hukum dapat berjalan dengan maksimal dan tepat sasaran, pengaturan trading in influence menjadi hal penting untuk dirumuskan. Untuk perumusan trading in influence perlu adanya perubahan dan pembaharuan hukum yang bertujuan pada pembangunan masyarakat agar tujuan hukum dapat tercapai.