Abstract
Tulisan ini membahas peralihan hak yang menggunakan akta perjanjian pengikatan jual beli (PPJB) terkadang dapat terjadi pembatalan, baik atas permintaan para pihak sendiri untuk akta tertentu, atau dengan menggugat pihak lainnya ke Pengadilan Umum untuk membatalkan isi akta agar tidak mengikat lagi. Dari beberapa Putusan Mahkamah Agung yang dianalisis, pembatalan akta PPJB terjadi karena wanprestasi dengan alasan-alasan tertentu serta karena perbuatan melawan hukum, sedangkan maksud dibuatkan akta PPJB sebagai perjanjian yang mendahului proses peralihan hak untuk memberikan perlindungan hukum dan kepastian hukum bagi para pihak yang membuatnya. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian yuridis normatif, dan penelitian ini bersifat deskriptif analisis. Hasil penelitian menunjukkan Pembatalan akta perjanjian pengikatan jual beli oleh Mahkamah Agung sudah sesuai dengan syarat kebatalan sebuah akta menurut peraturan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang mengacu pada Pasal 1265, Pasal 1266, Pasal 1267, Pasal 1320, dan Pasal 1238 KUHPerdata. Perlindungan hukum kepada para pihak yang dirugikan dengan menyatakan akta batal demi hukum, dinyatakan batal, dengan konsekuensi uang muka menjadi hapus, meskipun pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 1650 K/Pdt/2015 tidak diberikan karena tidak terdapat klausul mengenai syarat batalnya perjanjian dan seharusnya akta PPJB dinyatakan melanggar syarat objektif karena dibuat ketika terjadi tumpang tindih, perlindungan hukum kepada Notaris dengan tidak dapat mengajukan ganti kerugian kepadanya. Masing-masing Hakim Mahkamah Agung dalam memberikan putusannya mengikuti putusan Hakim yang terdahulu dimana pada pertimbangannya masing-masing Putusan Pengadilan Tinggi dianggap tidak bertetangan dengan hukum dan/atau Undang-Undang.