Abstract
Perbedaan perspektif menjadi alasan terhambatnya proses pembangunan. Pemerintah pusat, provinsi dan daerah telah berusaha menerapkan beberapa program pembangunan. Pemerintah lebih dominan terhadap nasionalisme dalam modernisasi, memandang Papua sebagai objek, yang mana kontras dengan budaya masyarakat. Oleh karena itu, musyawarah politik memutuskan untuk menyelesaikan perspektif tersebut dengan peraturan No. 21 tahun 2001 tentang peraturan otonomi khusus yang menyebabkan ketergantungan adat tingkat tinggi. Makalah ini membahas perspektif masyarakat suku Arfak di Sairo, Hangouw dan Indesey secara fungsional dan konflik (Mooney et al., 2007). Metode deskriptif dengan sampel purposif digunakan untuk menjelaskan fenomena bedasarkan data dari peserta. Pengumpulan data berupa kuesioner, kelompok fokus diskusi (FGD), pengamatan, dan wawancara. Secara fungsional, penerapan program pembangunan dilakukan berdasarkan alur perencanaan pembangunan yang disepakati oleh pemerintah daerah dan penguasa local dengan diketahui oleh pemerintah provinsi dan pusat sebagai penyerahan tanggung jawab. Program - program utama yaitu infrastruktur, perumahan, sekolah, rumah sakit, MCK dan air bersih. Konsep konstruksi sosial yaitu Aske Siros (kemajuan), Oru Eimofoj (menunggu bantuan), Monuh, Ofojingki/Mendes Efes, Ororoisa. Perspektif konflik yaitu adanya pembatasan kuota partisipasi serta penjelasan mengenai program dan anggaran kepada masyarakat. Selanjutnya, konsep Aske Siros tidak berjalan sesuai makna sebenarnya. Konsep tersebut didominasi oleh penguasa lokal, sementara kepada masyarakat lainya yaitu Oru Eimofoj. Dengan demikian, secara fungsional, program pembangunan yang diimplementasikan menguntungkan beberapa oknum tertentu. Maka, hal tersebut menjadi suatu ketidakmerataan untuk meningkatkan kehidupan sosial ekonomi mereka.