Abstract
Presiden Joko Widodo masih memiliki fokus yang sama – bahkan lebih intens – dalam periode kedua kepresidenannya terkait dengan pembangunan ekonomi. Jokowinomics, yang menjadi jargon model pembangunan ala Presiden Joko Widodo seringkali dipamerkan sebagai prestasi nasional untuk memenangkan hati konstituen melalui gedung pencakar langit, jembatan penghubung dan transportasi umum modern. Pendekatan teknokratik dan pragmatis ini disebut oleh dunia akademisi sebagai bentuk ‘new developmentalism’. Tulisan ini akan membuktikan bahwa agenda pembangunan materialistis dengan Jokowinomics terlalu sempit untuk menjawab tantangan pemenuhan hak-hak sipil warga negara Indonesia, sebagaimana yang tertuang dalam cakupan agenda no.16 Sustainable Development Goals yang dicanangkan oleh United Nations Development Program (UNDP). Ledakan pembangunan infrastruktur di era kepresidenan Joko Widodo dibarengi dengan dikeluarkannya Undang-Undang yang represif terhadap minoritas tertentu, pelemahan beberapa institusi penopang keadilan, hingga pembatasan kebebasan pers kemudian menjadi kontradiksi dalam pembangunan yang seharusnya menyejahterakan dan memerdekakan masyarakat sipil. Dengan menggunakan konsep ‘development as freedom’ oleh Amartya Sen, tulisan ini menawarkan untuk mengevaluasi implikasi dari implementasi Jokowinomics terhadap pemenuhan hak sipil untuk mencapai pembangunan yang bersifat inklusif dan berkelanjutan. Tulisan ini kemudian akan esensial sebagai studi kasus pembangunan negara berkembang yang saat ini masih didominasi oleh narasi neoliberal pragmatis yang pada akhirnya kurang mengindahkan usaha pemenuhan hak-hak sipil.