Abstract
Tulisan ini menganalisis mengenai sikap ASEAN dalam menghadapi pelanggaran HAM di Myanmar pasca kudeta militer Februari 2021. Dalam beberapa kasus, ASEAN sering diposisikan dalam kondisi dilema dalam mengambil sikap terhadap pelangaran HAM, dilema antara memegang teguh prinsip non-interfere dan melindungi hak asasi manusia (responbility to protect/R2P). Dalam kasus pelanggaran HAM di Myanmar, ASEAN juga dianggap berada di dilema. ASEAN telah memiliki prinsip non-intervensi yang tertuang dalam TAC (Treaty and Amity Cooperation) yang selama ini dipegang sebagai code of conduct dalam interaksi antar negara-negara ASEAN. Dalam menyikapi pelanggaran HAM di Myanmar, prinsip inipun juga menjadi acuan perilaku, sehingga ASEAN dianggap kurang tegas dan lemah. Masalah pelanggaran HAM ditangani tetap dengan upaya dialog dan menghindari penggunaan cara-cara intervensionisme sebagaimana ditunjukkan oleh negara-negara Barat. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah analisis deskriptif kualitatif dengan mengeksplorasi konsep kedaulatan, hak asasi manusia dan R2P (responbility to protect). Aktor yang menjadi fokus tulisan adalah ASEAN sebagai organisasi regional, dan poin yang ingin dibuktikan dalam analisis adalah bahwa prinsip non-intervensi bukan sebagai kelemahan ASEAN, tetapi sebuah sikap konsisten. Organisasi ini selama 54 tahun telah mengelola hubungan diantara mereka dengan saling menghormati kedaulatan satu sama lain.