Abstract
Kajian tasawuf selalu menarik untuk didiskusikan, bahkan di era pasca modern dimana kita merasakan tiba-tiba begitu ramai orang mencari dan menempuh jalan-jalan spiritual. Seolah mencari kesegaran kembali, makna dan nilai kemanusiaan dari dahaga akibat amukan modernisme yang cenderung positivistik, dan gaya hidup yang pragmatis. Islam sendiri datang ke Nusantara sudah dalam corak tasawuf, baik yang dibawa oleh para Walisongo maupun guru-guru sufi lain di Nusantara termasuk di Aceh. Di Jawa, ajaran ini terus berkembang bahkan dalam banyak kitab atau tulisan sastra Jawa, baik dalam kitab serat Wedatama, Serat Dewaruci maupun dalam Serat Wirid Hidayat jati. Ajaran Martabat tujuh dalam Wirid Hidayat jati, merupakan pengembangan dari Ibnu Arabi dan Muhammad Ibnu Fadlullah dalam kitab Al-Tuhfatu Mursalah ila Ruhin Nabi serta ajaran Tasawuf Aceh. Walaupun coraknya panteisme-monisme, teori tingkatan tujuh martabat dalam penciptaan masih serupa dengan teori emanasi. Untuk itu menarik ketika menggunakan perspektif emanasi untuk melihat ajaran ini. Metodelogi dalam penelitian ini menggunakan library research (pustaka). Dalam penelitian ada tiga hal yang dijadikan perspektif dalam analisis tentang ajaran ini, yaitu; Sumber dan ajaran (antara emanasi dan martabat tujuh) yang terpaut zaman yang cukup jauh, metodologi yang berbeda dimana emanasi lebih diskursif filosofis sementara ajaran martabat tujuh bercorak intuitif mistis, serta beberapa perbedaan dan titik temu dari keduanya.