Abstract
Perkawinan merupakan jalan yang paling bermanfaat dan paling utama dalam upaya merealisasikan dan menjaga kehormatan, karena dengan nikah inilah seseorang bisa terjaga dari apa yang diharamkan Allah. Para penyandang disabilitas sebagai manusia normal yang juga dikaruniai hasrat seksual tentunya memiliki keinginan untuk mengikatkan diri dalam ikatan perkawinan. Hal ini menjadi sesuatu yang sangat wajar. Namun, dengan kekurangan mereka dikhawatirkan mereka akan sulit menjalankan kehidupan bahtera kehidupan rumah tangganya. Oleh karena itu bagaimana status hukum perkawinan bagi penyandang disabilitas mental dapat diakui sah secara hokum atau tidak?. Inilah permsalahan yang perlu ada kepastian hukumnya. Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis : Hukum Perkawinan Bagi penyandang Disabilitas mental menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 dan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016. Metode penelitian ini menggunakan metode penelitian kepustakaan (library research), yaitu penelitian yang mengumpulkan data dan informasi dengan bantuan bermacam-macam materi yang terdapat dalam kepustakaan. Hasil penelitian ini bahwa secara hukum perkawinan bagi penyandang difabel mental tetap sah dalam segi rukun dan tidak ada kerusakan atau harus adanya pembatalan dalam segi syarat perkawinan. Karena bagi penyandang difabel mental baik itu calon mempelai pria atau perempuan tidak adanya kreteria harus sehat mentamenjawab kebutuhan kehidupan kontemporer seperti HAM, gender, lingkungan, demokrasi dan lain-lain.