Abstract
Setelah sekian lama pendekatan apologetika klasik dan evidensial kokoh sebagai cara mempertahankan iman Kristen, pascamodernisme muncul untuk mengkritik penggunaan alat verifikasi absolut terhadap klaim-klaim iman. Kendati demikian, James K. A. Smith dan Alister McGrath melihat pascamodernisme sebagai kawan ketimbang lawan, kesempatan ketimbang tantangan. Karena itu, memperhatikan kritik-kritik penting dari semangat pascamodernisme justru akan menolong gereja menjawab tuntutan pascamodernisme itu sendiri. Artikel ini mengusulkan pendekatan apologetika imajinatif sebagai solusi untuk menjawab kritik tersebut. Berbeda dengan apologetika klasik/evidensial, apologetika ini bertendensi menggunakan imajinasi lebih daripada sebelumnya dalam upaya-upaya mempertanggungjawabkan iman Kristen. Di kala apologetika menerima tuduhan kering dan terkesan mengesampingkan aspek eksistensial yang nyatanya berdiam dalam diri manusia, apologetika imajinatif dapat menjadi usulan solusi untuk menghindari tuduhan ini. Dua implikasi muncul dari penalaran ini. Pertama, dalam dialog-dialog apologetika, seorang apologist harus lebih banyak menggunakan alat-alat retoris imajinatif. Kedua, gereja harus menolong pendengar untuk mendapatkan presentasi imajinatif tentang bagaimana rasanya hidup menjadi seorang Kristen, dengan cara menampilkan kisah kehidupan Kristen sehari-hari kepada mereka. Dengan demikian, alih-alih gereja menggunakan apologetika, gereja adalah apologetika itu sendiri. For a long time, classical and evidential apologetics have been firmly established as a way of defending the Christian faith. However, postmodernism appears to criticize the use of absolute verification tools for faith claims. Nevertheless, James K.A. Smith and Alister McGrath see postmodernism as friend rather than foe, opportunity rather than challenge. Therefore, paying attention to important criticisms of the spirit of postmodernism will actually help the church to answer the demands of postmodernism itself. This article proposes an imaginative apologetics approach as a solution to answer this criticism. In contrast to classical/evidential apologetics, this apologetics tends to use imagination more than before in efforts to account for the Christian faith. When apologetics accepts dry accusations and seems to override existential aspects that actually dwell in humans, imaginative apologetics can be a proposed solution to avoid these accusations. Two implications emerge from this reasoning. First, in apologetic dialogues, an apologist must use more imaginative rhetorical tools. Second, the church must help listeners get an imaginative presentation of what it’s like to live as a Christian, by presenting them with stories of everyday Christian life. Thus, instead of the church using apologetics, the church is apologetics itself.