Abstract
Pada era reformasi ini, selain berbagai bencana dan persoalan-persoalan lain, bangsa Indonesia menghadapi ujian-ujian berat yang berkaitan dengan sentimen primordial. Ujian-ujian itu misalnya ada daerah yang ingin lepas dari NKRI, daerah yang ingin lepas dari induknya menjadi provinsi atau kabupaten baru, dan pemaksaan agar daerahnya dipimpin oleh figur-figur dari kelompok etniknya. Bisa dikatakan bahwa keindonesiaan yang terbentuk belum sepenuhnya utuh dan belum kokoh. Oleh karena itu, perlu diupayakan terbentuknya wawasan keindonesiaan pada segenap komponen NKRI yang diharapkan akan memperkokoh keindonesiaan kita.Berbagai buku muatan lokal sudah memanfaatkan hasil penelitian tentang peribahasa dalam suatu etnik, misalnya buku Peribahasa Gorontalo: Rujukan Mata Pelajaran Muatan Lokal karya Mansur Pateda dengan Yennie P. Pulubuhu, namun belum menganalisis aspek kebudayaannya. Ada penelitian ungkapan dalam etnik lain, misalnya penelitian Fatimah Djajasudarma dkk. berjudul Nilai Budaya dalam Ungkapan dan Peribahasa Sunda. Namun, penelitian-penelitian seperti itu masih terlalu sedikit. Memang, kajian antropolinguistik (etnolinguistik atau antropologi linguistik) belum populer dan belum banyak berkembang di Indonesia, padahal Indonesia adalah “surga” bagi kajian antropolinguistik dengan beratus-ratus etnik di dalamnya.Dalam salah satu subtema seminar “Muatan Lokal Bahasa dan Sastra Daerah dalam Pembentukan Wawasan Keindonesiaan”, makalah ini menyarankan untuk menggali nilai-nilai budaya dalam peribahasa etnik-etnik yang ada di Indonesia dalam perspektif antropolinguistik. Selain itu, juga akan dipaparkan metode yang dapat digunakan dan beberapa contoh kajian yang telah dilakukan mengenai peribahasa etnis yang dapat dimanfaatkan untuk tema ini.Bagi peserta didik, peribahasa dalam etniknya sendiri maupun dalam etnik-etnik lain di sekitarnya sangat relevan diajarkan dalam pelajaran muatan lokal bahasa dan sastra daerah. Dari peribahasa yang ada itu digali nilai-nilai budayanya, dipilih mana yang dapat diunakan untuk membangun wawasan keindonesiaan, mana yang perlu diterengjelasakan dan diambil langkah antisipasi agar tidak mendorong konflik, seperti terhadap ungkapan dalam bahasa Madura “Atembheng poteh tolang bi’ poteh mata, anggo’a poteya telang” ‘Daripada putih tulang dan putih mata lebih baik putih tulang’, karena ungkapan itu disinyalir dapat memicu konflik.